Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad Saw.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.
Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia
apa yang tidak diketahuinya (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca,
karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman,
sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak.
Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan
diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan.
Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang
bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga.
Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah
dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat
bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu
Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain
sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum
diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau
atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa
alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya
berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt.
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum
subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun
pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak
setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati
dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah
kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang
siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran
tersebut.
ILMU
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan. 'Ilm dari segi bahasa
berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata
'alam (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'a'lam
(gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian,
kata ini berbeda dengan 'arafa (mengetahui)' a'rif (yang
mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan).
Allah Swt. tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim, yang berkata
kerja ya'lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran
menggunakan kata itu --untuk Allah-- dalam hal-hal yang
diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan.
Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan
kepada Allah: ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang
mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui
sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa
(apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma fi
anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh
(yang ada di langit dan di bumi), khainat al-'ayun wa ma
tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam
dada). Demikian juga 'ilm yang disandarkan kepada manusia,
semuanya mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang
menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna
menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah
kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat
Al-Baqarah (2) 31 dan 32:
Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama
(benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya
kepada para malaikat seraya berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar (menurut dugaanmu)." Mereka
(para malaikat) menjawab, "Mahasuci Engkau tiada
pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana."
Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu
dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu,
bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai
cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran
menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang
berpengetahuan.
Menurut pandangan Al-Quran --seperti diisyaratkan oleh wahyu
pertama-- ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang
diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai 'ilm ladunni, seperti
diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat Al-Kahfi (18):
65.
Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan
seorang hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami
anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami.
Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai 'ilm
kasbi. Ayat-ayat 'ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang
berbicara tentang 'ilm laduni.
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Quran
terdapat hal-hal yang "ada" tetapi tidak dapat diketahui
melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak,
sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain
dalam firman-Nya:
Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu
tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi.
fenomena dan non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan
dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS
Al-Nahl [16]: 8)
Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah
terbatas, karena itu wajar sekali Allah menegaskan.
Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS
Al-lsra'[17]: 85).
OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA
Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara
garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok,
yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang
mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka
tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di
alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya
mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang
secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan
pengalihan antarbudaya.
Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan
non-materi. Karena itu, sebagai ilmuwan Muslim --khususnya
kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran-- memperkenalkan ilmu
yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima
kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan
realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (l) alam nasut
(alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam
jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).
Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk
meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut.
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).
Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu,
pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati.
Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan
tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang
digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung
juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan
manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan
perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan
upaya mengetahui alam materi.
Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi
... (QS Yunus [10]: 101).
Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta
diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana
gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan?
(QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak
Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang
baik? (QS Al-Syu'ara' [26]: 7)
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi ...
(QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).
Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih
pengetahuan, Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan
kesucian hati.
Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan
kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia.
Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih
melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim
menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna
memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka
sadar terhadap kebenaran firman Allah:
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan
diri di muka bumi --tanpa alasan yang benar-- dari
ayat-ayat Ku ... (QS Al-A'raf [7]: 146).
Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la
yahdi, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin
(orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik),
man yudhil (orang yang disesatkan), man huwa kadzibun kaffar
(pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi
pembohong), dan lain-lain.
Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah
ilmu Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu
terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena).
Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di 1uar alam materi.
Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan:
... Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui.
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka
lalai (QS Al-Rum [30]: 6-7).
Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya
mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang
dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.:
Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah
menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum
diketahuinya.
Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut.
Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu.
Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang yang
memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula,
antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut
dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya,
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir [35]: 28).
Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki
pengetahuan tentang fenomena alam.
Rasulullah Saw. menegaskan bahwa:
Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah
yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah,
maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia.
MANFAAT ILMU
Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang
pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra' bismi Rabbika, digariskan
bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga
tujuan akhirnya, haruslah karena Allah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar,
memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk kemaslahatan
makhluknya. Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan
justru makhluk yang membutuhkan Allah Swt.?
Semboyan "ilmu untuk ilmu" tidak dikenal dan tidak dibenarkan
oleh Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi
Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga
ilmu yang --dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat
scbagian ahli-- "bebas nilai", harus diberi nilai Rabbani oleh
ilmuwan Muslim.
Kaum Muslim harus menghindari cara berpikir tentang
bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi tidak
memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah Saw.
sering berdoa,
Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat.
Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk
mengungkap rahasia alam metafisika, tidak boleh dilakukan.
Artinya, hati mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam
metafisika.
Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran vang
berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang
berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dan alam
raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama.
Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat
wal-ardh. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan
ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya'qilun
(sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal).
Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 90, ketika
menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin
li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
bagi Ulil Albab [orang-orang yang memiliki saripati segala
sesuatu].
Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara
tentang alam raya, yang darinya dapat ditarik kesan adanya
beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih oleh
mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang
berpikir) (QS 10: 24) ya'lamun (yang mengetahui) (QS 10: 5),
yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya'qilun
(yang memahami) (QS 16: 12), yasma'un (yang mendengarkan) (QS
30: 23), yuqinun (yang meyakini) (QS 45: 4), al-mu'minin
(orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-'alimin (orang-orang
yang mengetahui) (QS 30: 22).
ILMU DAN TEKNOLOGI (2/2) TEKNOLOGI Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikansebagai "kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmueksakta dan berdasarkan proses teknis." Teknologi adalah ilmutentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagikesejahteraan dan kenyamanan manusia. Kalau demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakanmanusia bukanlah teknologi, walaupun secara umum alat-alattersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telahdipergunakan oleh manusia sejak berabad yang lalu, namun abadtersebut belum dinamakan era teknologi. Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundangkita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicaratentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi danfenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahuidan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulangAl-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkanAllah untuk manusia. Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Penundukan tersebut --secara potensial-- terlaksana melaluihukum-hukum alam yang ditetapkan Allah dan kemampuan yangdianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskansebagian dari ciri tersebut, antara lain: (a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri danhukum-hukumnya. Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS Al-Ra'd [13]: 8) Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hinggarumput yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telahditetapkan oleh Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya.Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sinayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3 (b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya: Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di 1angit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra'd [13]: 15). (c) Benda-benda alam --apalagi yang tidak bernyawa-- tidakdiberi kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya tunduk kepadaAllah melalui hukum-hukum-Nya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia (Allah) berkata kepada-Nya, "Datanglah (Tunduklah) kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka!" Mereka berdua berkata, "Kami datang dengan suka hati" (QS Fushshilat: ll). Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciridan hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya, sebagaõmanadiinformasikan oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarahayat 31, Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri,dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahuirahasia alam raya. Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakanAllah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadapperintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapatmemperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya,semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkanalam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfatkanalam itu merupakan buah teknologi. Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab.Ciri mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-'Imran (3)190-191: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi ... Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab,yaitu tafakkur dan dzikir. Kemudian keduanya menghasilkannatijah yang diuraikan pada ayat 195: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka dengan berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan ..." Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak,melainkan melampauinya sampai kepada pengamalan danpemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyahmengomentari ayat Ali 'Imran tadi sebagai berikut: [tulisan Arab] Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metodeyang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadapalam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsipertama di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajariayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya ini. Ayat-ayattersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan ama1 Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa "Khalq As-samawat wal Ardh"di samping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit danbumi, juga bermakna "memikirkan tentang sistem tata kerja alamsemesta". Karena kata khalq selain berarti "penciptaan", jugaberarti "pengaturan dan pengukuran yang cermat". Pengetahuantentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepadarahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepadapenciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaatbagi umat manusia. Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatuyang dianjurkan oleh Al-Quran? Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perludiperhatikan. Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya danfenomenanya, terlihat secara jelas bahwa pembicaraannya selaludikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam: Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman? (QS Al-Anbiya' [21]: 30). Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagaiisyarat tentang teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawaliterciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbedapendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai prosesterjadinya pemisahan langit dan bumi. Yang pasti, ketikaAl-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengankekuasaan dan kebesaran Allah; serta keharusan berimanpada-Nya. Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dariposisinya, sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwaninformasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah Swt.: ~ Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Naml [27]: 88). Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalumengingatkan manusia terhadap Kehadiran dan KemahakuasaanAllah Swt., selain juga harus memberi manfaat bagikemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik. Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkharayang maknanya bermuara kepada "kemampuan meraih --dengan mudahdan sebanyak yang dibutuhkan-- segala sesuatu yang dapatdimanfaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidangteknik". Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harfiahnyamenundukkan atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam rayadengan segala manfaat yang dapat diraih darinya harus tundukdan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawahmanusia. Bukankah manusia diciptakcan oleh Allah sebagaikhalifah? Tidaklah wajar seorang khalifah tunduk danmerendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allahkepadanya. Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam.maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah Swt. Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alamraya bersama potensi yang dimiliki manusia --bila digunakansecara baik-- akan membuahkan teknologi. Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkanbahwa teknologi dan hasil-hasilnya di samping harusmengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkanbahwa manusia adalah khalifah yang kepadanya tunduk segalayang berada di alam raya ini. Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkretteknologi, dapat dikatakan bahwa pada mulanya teknologimerupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusiamenciptakan pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadiperpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan dengankebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepadasi Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudianteknologi berkembang, dengan memadukan sekian banyak alatsehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya,semuanya berkembang, khususnya ketika mesin tidak lagimenggunakan sumber energi manusia atau binatang, melainkanair, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya,adalah mesin. Kini, pesawat udara tidak lagi menjadiPerpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaanorgan dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yangmemungkinkannya mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, iabagaikan memiliki sayap. Alat atau mesin tidak lagi menjadibudak, tetapi telah menjadi kawan manusia. Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih.Mesin-mesin tersebut melalui daya akal manusia--digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakinkompleks, serta tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang.Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu mestidilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telahmenjadi semacam "seteru" manusia, atau lawan yang harusdisiasati agar mau mengikuti kehendak manusia. Dewasa ini telah lahir teknologi --khususnya di bidangrekayasa genetika-- yang dikhawatirkan dapat menjadikan alatsebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal"majikan" yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jikabegitu, ini jelas bertentangan dengan kedua catatan yangdisebutkan di terdahulu. Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapatmenerima hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dantidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baikmengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur "debu tanah"manusia maupun unsur "ruh Ilahi" manusia. Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikanseseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepadakeruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukanhasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harusmemperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakanteknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapatmengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan,sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu,menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenaicara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi,dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimanamengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengannilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukanpikir dan zikir, ilmu dan iman? *** Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupayameningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa,Rasul Allah Muhammad Saw. pun diperintahkan agar berusaha danberdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni'ilma (Berdoalah [hai Muhammad], "Wahai Tuhanku, tambahlahuntukmu ilmu") (QS Thaha [20]: 114), karena fauqa kullu zi'ilm (in) 'alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yangamat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72). Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan.Rasulullah Saw. bersabda: Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta. Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkanteknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkankepadanya. Karena itu, laju teknologi memang tidak dapatdibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diriagar tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan hartadan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan dinnya. Agar iatidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinyasendiri karena kepandaiannya. Al-Quran menegaskan: Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya --karena air itu-- tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, maka kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]: 24).[] ----------------WAWASAN AL-QURANTafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan UmatDr. M. Quraish Shihab, M.A.Penerbit MizanJln. Yodkali No.16, Bandung 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Kesalahan adalah pengalaman hidup, belajarlah darinya. Jangan mencoba tuk menjadi sempurna. Cobalah belajar bijaksana bagi sesama"