Perceraian Dalam Islam
Artikel
Buletin An-Nur :
Perceraian
Dalam Islam
Senin,
30 Agustus 04
Pernikahan adalah rahmat dan nikmat
dari Allah subhanahu wata’ala, yang dengan pernikahan itu manusia merasakan
kasih sayang, kedamaian, kelembutan dan nikmatnya kehidupan. Namun di sisi lain
tidak setiap orang yang membina rumah tangga akan mendapatkan apa yang tersebut
di atas. Bahkan hampir dipastikan bahwa setiap rumah tangga akan menghadapi
berbagai problem, keretakan dan gesekan yang dapat mengganggu keharmonisan
rumah tangga. Masalah rumah tangga terkadang dapat diatasi dan diselesaikan
dengan biak, namun terkadang sangat sulit diselesaikan sehingga semakin hari
semakin besar dan berlarut-larut dan tak jarang yang akhirnya berujung dengan
perceraian.
Maka merupakan nikmat dan rahmat
dari Allah subhanahu wata’ala juga, bahwa manusia tidak dibebani oleh Allah
dengan sesuatu yang dia tidak mampu memikulnya. Oleh karena itu ketika
kehidupan rumah tangga yang tadinya merupakan nikmat telah berubah menjadi
bencana, prahara dan bahkan seperti neraka maka talak bisa jadi merupakan
rahmat yang dapat membebaskan suami istri dari prahara tersebut. Ini jika suami
istri memandang bahwa permasalahan sudah menemui jalan buntu dan kedua belah
pihak atau salah satunya benar-benar sudah menghendaki perpisahan.
Sebelum kedatangan Islam, manusia
menalak istrinya semau-maunya dan kapan saja dia ingin. Kemudian datanglah
Islam dengan membawa aturan yang jelas dan rinci tentang kapan talak itu
diperlukan, kapan waktunya, berapa bilangan talak dan lain sebagainya. Namun
meski diatur sedemikian, talak merupakan perbuatan halal yang paling dibenci
Allah, dan hukum asal talak adalah makruh (dibenci) karena akan mendatangkan
berbagai madharat atau dampak negatif terhadap istri dan anak-anak. Maka talak
tidak dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa serta dengan pertimbangan akan
adanya kebaikan yang didapat setelah terjadi talak tersebut. Suami hendaknya
memperhatikan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. (QS.al-Baqarah:229)
Talak mempunyai landasan syar’i dari
al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ serta dia terkait juga dengan hukum yang lima,
haram, makruh, wajib, sunnah dan mubah. Talak diharamkan jika istri sedang
dalam keadaan haid, dan makruh jika dilakukan dengan tanpa sebab yang jelas
padahal rumah tangga secara umum masih dalam kondisi stabil, dan talak bisa
jadi wajib jika perselisihan suami istri sudah parah dan hakim atau penengah
memandang bahwa talak adalah jalan yang terbaik. Dan ia sunnah atau mandub jika
istri banyak melanggar larangan Allah atau banyak melakukan kemaksiatan seperti
terus mengakhirkan shalat wajib dan tidak mau diingatkan suaminya serta mubah
jika sang suami tidak suka terhadap kelakuan dan perlakuan istrinya sehingga
menyebabkan suami tidak ada kecondongan lagi serta merasa tidak nyaman
terhadapnya.
Apabila seorang suami sudah bertekad
dan memutuskan untuk menalak istrinya maka hendaknya ia memperhatikan adab-adab
sebagai berikut:
Memperhatikan maslahat di dalam
menjatuhkan talak, setelah melalui pertimbangan yang matang.
Menjatuhkan talak dengan keadaan
takut atau khawatir tidak mampu untuk menegakkan hukum-hukum Allah (jika tetap
bersama istrinya).
Hendaknya tujuan dari menjatuhkan
talak bukan untuk menyengsarakan istri.
Hendaknya menalak istri dalam
kondisi memang dia sudah tidak memungkinkan lagi untuk tetap menjadi istri
Hendaknya tidak menjatuhkan talak
tiga secara sekaligus, juga jangan menjatuhkan talak dua. Namun hendaknya
menjatuhkan talak satu dan diucapkan hanya satu kali saja. Misalnya ketika
seseorang menjatuhkan talak satu maka dia tidak boleh mengucapkan, “Engkau aku
talak, engkau aku talak.”
Hendaknya menceraikan istri dengan
cara yang diizinkan syariat, yakni talak yang sesuai dengan sunnah. Seperti
menalak istri harus dalam keadaan suci dan tidak dalam kondisi telah dicampuri
(setelah berada dalam masa suci itu), atau boleh juga menalaknya pada saat
hamil. Seseorang dilarang menalak istrinya yang sedang haid, dan jika dia
terlanjur melakukan itu maka harus merujuknya lagi dan menunggu sampai suci.
Kemudian jika telah suci maka hendaknya ia menalak dengan tidak menggaulinya
lebih dahulu. Akan tetapi yang lebih utama adalah hendaknya dia membiarkan
istrinya haid lagi, baru kemudian menalaknya dalam masa suci dari haid yang ke
dua ini.
Apabila seorang suami telah menalak
istrinya di masa suci ini (dengan tidak menggaulinya lebih dulu) maka hendaknya
dia membiarkan hingga habis masa iddahnya. Seorang suami mempunyai hak untuk
rujuk (kembali) sebelum habis masa tiga kali haid dari istri yang ditalaknya,
atau belum habis masa iddahnya. Jika wanita tersebut telah mengalami tiga kali
haid maka berarti telah selesai masa iddahnya sehingga wanita tersebut halal
untuk dinikahi oleh laki-laki lain. Jika mantan suaminya ingin kembali lagi
maka dia harus khitbah (melamar) lagi dan melangsungkan akad dengan akad yang
baru.
Talak hendaknya tidak dilakukan
dalam keadaan sedang marah.
Hendaknya ada saksi atas terjadinya
talak tersebut.
Hendaknya menalak dengan cara yang
baik, bukan cara-cara buruk, bukan dengan kalimat yang buruk, penuh kebencian
dan permusuhan.
Termasuk salah satu keluwesan dan
keindahan hukum Islam adalah disyari’atkannya beberapa bilangan talak. Ini
dengan tujuan memberikan kesempatan kepada para suami untuk menguji coba
keputusannya. Jika memang keputusannya untuk talak adalah tepat, maka hendaklah
dia bersabar dan melepaskan istrinya tersebut. Dan jika ternyata sang suami salah
dalam mengambil keputusan atau dia tidak mampu bersabar maka dia dapat meraih
kembali apa yang baru saja terlepas. Jumlah talak adalah tiga kali talak,
sebagai batas maksimal sehingga setelah itu tidak ada talak lagi.
Demikianlah di antara beberapa adab
talak syar’i, maka apakah kaum muslimin telah memperhatikan adab-adab ini?
Sungguh kalau kita perhatikan maka masih amat banyak kaum muslimin yang tidak
tahu masalah ini, tidak faham terhadap hukum-hukum berkaitan dengan talak. Dan
yang lebih disayangkan lagi adalah masih ada di antara umat Islam yang
terpelajar sekali pun tidak mengetahui permasalah seputar talak. Ini merupakan
indikasi bahwa masih banyak ummat Islam yang beramal tanpa ilmu, atau kurang
perhatian terhadap ilmu, atau enggan meredam hawa nafsu dengan kendali syariat.
Maka amat banyak kita dapati kasus perceraian hanya dengan sebab yang sangat
sepele, atau menjatuhkan cerai ketika sedang ada pertengkaran, atau seorang
suami menceraikan istrinya yang sedang haid atau dia suci namun telah digauli
lebih dahulu sebelumnya. Kemudian setelah sadar akan kekeliruannya baru
bertanya kepada para ulama atau mufti, dan yang lebih menyedihkan lagi
terkadang ada di antara suami yang merubah alur cerita tidak sesuai dengan
fakta, dengan tujuan agar mendapatkan fatwa sesuai dengn yang diinginkannya.
Dengan dijatuhkannya talak satu maka
bisa jadi seorang istri dirujuk lagi oleh suaminya, dan kembali menjadi satu
keluarga bersama anak-anaknya, sebagaimana firman Allah, artinya,
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (QS. 65:1)
Seorang istri jika ditalak oleh
suaminya dengan talak raj’i (talak yang bisa rujuk dalam masa iddah) maka
selayaknya dia tetap tinggal bersama serumah dengan suaminya, dan masing-masing
pihak berusaha mencari jalan keluar barangkali akan terjadi rujuk, baik dengan
ucapan ataupun perbuatan suami. Seandainya ummat Islam mau mengikuti petunjuk
Kitabullah dan as-Sunnah serta menerapkan adab-adab yang diwajibkan atau
dianjurkan maka niscaya tidak akan menghadapi berbagai masalah bertubi-tubi dan
tak terhitung. Amat banyak problem rumah tangga yang pada akhirnya berujung
dengan penyesalan dan kerugian. Lebih-lebih jika suami terlanjur menjatuhkan
talak tiga atau talak yang tidak ada rujuk lagi, maka segala penyesalan sudah
tidak ada gunanya lagi. Berapa banyak para suami dan istri yang menyesal,
berapa banyak anak-anak yang terlantar dan berantakan kehidupannya, gara-gara
sebuah keputusan dan pertimbangan yang kurang matang.
Apa yang disyari’atkan Allah terkait
dengan masalah talak ini benar-benar mengandung hikmah yang mendalam, di
antaranya adalah mempersempit ruang gerak para suami agar tidak mudah atau
gampang menjatuhkan talak. Sehingga Allah mengaturnya agar tidak menalak ketika
sang istri sedang haid, atau ketika dia suci namun sudah digauli lebih dahulu.
Hal ini untuk meredam rencana seorang suami yang akan menalak istrinya serta
memberikan kesempatan untuk berfikir dan mempertimbangkan kembali. Tidaklah
bagus dan proporsional jika seorang suami menjatuhkan talak terhadap istrinya
kecuali ketika dia dalam sikap dan keadaan adil terhadap keputusannya.
Seharusnya seorang laki-laki
terlebih dahulu mempertimbangkan masak-masak ketika memilih istri. Hendaknya
jangan menikahi wanita yang tidak diinginkan dan hendaknya siap menerima
keadaan sang istri tersebut apa adanya (qana’ah), lebih-lebih bagi mereka yang
ada rencana untuk ta’addud (poligami). Karena pada umumnya orang yang sering
menikah maka dia sering mencerai juga, padahal wanita adalah syaqaiq (bagian)
dari laki-laki, berasal dari jiwa yang satu. Mereka bukanlah mainan untuk
dipermainkan, bukan untuk berbangga-banggaan seorang laki-laki karena banyak
nenikahi wanita dan banyak mencerai.
Bahkan prinsip dasar pernikahan
dalam Islam adalah menikahi wanita untuk menjadi istrinya sepanjang hidup.
Apabila pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan telah berlangsung
maka babak selanjutnya adalah peran kedua belah pihak untuk menjawab berbagai
tantangan dan problem rumah tangga, karena rumah tangga tidak akan sepi dari
masalah. Seorang suami tidak dibolehkan menjadikan talak sebagai senjata
pamungkas untuk mengancam, menekan dan memprovokasi istrinya, sedikit-sedikit
bilang, “Awas kamu akan kuceraikan.” Ini selain manyakiti batin istri juga akan
menambah keretakan rumah tangga dan menjauhkan hati suami dan istri. Namun
hendaknya talak merupakan akhir dari pemecahan suatu masalah setelah berbagai
cara yang ditempuh menemui jalan buntu dan diperkirakan jika terus
dipertahankan maka keadaan rumah tangga semakin memburuk.
Kami memohon kepada Allah agar Dia
memperbaiki kondisi kaum muslimin, dan agar memberikan taufik kepada mereka
untuk menempuh jalan Islam. Sesungguhnya Dia adalah Pemegang segala urusan dan
Maha Kuasa untuk melakukan semua itu.
Sumber: “Tsalatsun majlisan fi
irsyadil ummah” hal 88-92 bab 15 ath-Thalaq, Dr. Ahmad bin Sulaiman al-Uraini
(Khalif)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Kesalahan adalah pengalaman hidup, belajarlah darinya. Jangan mencoba tuk menjadi sempurna. Cobalah belajar bijaksana bagi sesama"