Apakah kekhasan manusia di tengah makhluk yang lain? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi. Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan dinamis. Maka, tidak mengherankan bahwa pandangan atas manusia pun beraneka ragam. Keanekaragaman pandangan tampak dalam keanekaragaman definisi. Yang paling terkenal adalah definisi dari Aristoteles yang mengatakan: “Manusia adalah animal rationale” (hewan yang berakal budi). Pandangan filsafat lainnya merumuskan bahwa manusia adalah animal loquens (makhluk yang berbicara). Keunggulan manusia dalam hal bahasa sangatlah nyata dan bahasa hewan sangatlah berbeda dengan bahasa manusia. Manusia mampu berbicara dalam bahasa lisan dan mampu mengembangkannya dalam bahasa tulisan.
Filsuf lain merumuskan manusia sebagai “a symbolic animal”. Sebuah simbol bersifat multidimensional. Bahasa simbol sangat khusus berperan dalam bahasa cinta dan bahasa religius. Lain lagi dengan Karl Marx. Ia menemukan keunggulan manusia dalam pekerjaannya. Maka, manusia juga disebut makhluk yang bekerja. Banyak definisi lainnya yang muncul untuk merumuskan kekhasan manusia di tengah makhluk lainnya di dunia ini. Manusia dirumuskan sebagai an ethical being, an aesthetical being, a metaphysical being, a religious being.
Definisi-definisi yang dilontarkan banyak filsuf masih membawa berbagai kesulitan. Misalnya Aristoteles yang mengatakan bahwa ciri khas manusia adalah sebagai animal rationale atau dikuasai oleh kekuatan rasionya dan bukan oleh nafsu atau naluri, maka sulit dimengerti untuk menjelaskan terjadinya keserakahan kapitalisme, peperangan dunia, terorisme yang selalu memakan banyak korban dan membunuh ibu dan anak-anak dalam jaman peradaban kita sekarang. Kita bisa mengatakan bahwa itu semua terjadi justru karena penggunaan rasio yang semakin canggih, yang disalahgunakan dan diselewengkan.
Teilhard de Chardin dalam The Phenomenon of Man menjawab kesulitan definisi ciri khas manusia ini. Ia mengatakan bahwa “Hewan mengetahui, tetapi hanya manusia mengetahui bahwa ia mengetahui.” Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau kesadaran reflektif. Hewan, di sisi lain, tidak mampu untuk berefleksi tentang dirinya. Mereka tidak memiliki kemampuan refleksi mengenai tindakan berpikir itu sendiri. Kesadaran diri atau refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi diri juga merupakan aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan menjadikan dirinya pusat refleksi, ia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang berada dalam lingkungannya.
Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia itu menjadi sumber dari berbagai ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri, aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan kemampuan refleksi-nya, manusia memiliki keterbukaan terhadap dunia (openness to the world), tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifik. Dengan demikian manusia mampu mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan rasionalitas. Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas lainnya sebagai objek. Ia dapat mengambil jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain dengan binatang.
Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia itu menjadi sumber dari berbagai ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri, aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan kemampuan refleksi-nya, manusia memiliki keterbukaan terhadap dunia (openness to the world), tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifik. Dengan demikian manusia mampu mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan rasionalitas. Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas lainnya sebagai objek. Ia dapat mengambil jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain dengan binatang.
Tradisi kristiani dan metafisik menempatkan kekhasan manusia pada jiwa yang tidak dapat mati, yang membuat martabat manusia mengatasi seluruh kosmos. Dalam perkembangannya, filsafat modern tidak lagi mencari kekhasan manusia menurut tradisi kristiani yaitu dalam kerangka hubungan manusia dengan kosmos atau Allah. Pada abad 19 diusahakan untuk mengatasi dualisme badan-jiwa dengan melihat keunikan manusia dalam kejasmaniannya. Kekhasan manusia itu dicari melalui refleksi mengenai tempat manusia di dalam alam semesta dan terutama dalam perbandingan manusia dengan binatang. Pendekatan ini seolah-olah kembali pada pendekatan kaum stoa yang memahami manusia dalam kerangka tertib kosmik sebagai mikrokosmos.
Selaras dengan teori evolusi Darwin, antropologi mengandaikan kontinuitas hewan dan manusia dan kemudian mencoba menentukan tempat khas manusia dalam kontinuitas ini dan bukannya memasukkan prinsip asing ke dalam alam. Pendekatan ini dipelopori oleh J.G. Herder dan Friederich Nietzsche serta pendekatan psikologi yang tidak lagi mempelajari psyche melalui introspeksi tetapi melalui observasi perilaku ekstrim. Cara pandang seperti ini disebut perspektif antropo-biologi. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa pendekatan ini merupakan cara pandang fenomenologis yang mencari kekhasan manusia sebagaimana terlihat dalam perilaku dan kejasmaniannya. Pendekatan ini lebih-lebih dilakukan oleh behaviourisme Amerika di satu sisi dan sisi lain oleh penelitian “antropologi filsafat” yang bertolak dari penelitian biologis atas prilaku manusia.
Pendekatan behaviouristik dilakukan oleh J.B. Watson, B.F. Skinner dan I.P. Pavlov dalam menggambarkan perilaku sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang didasarkan pada hukum stimulus-response. Dengan demikian behaviorisme mereduksi kegiatan manusia pada perilaku terobservasi yang dirangsang dari luar.
Pendekatan Pavlov ini mendapat banyak kritik. Diantaranya adalah kritik dari J. Habermas yang mengatakan bahwa “Stimulus yang sama dapat menghasilkan response yang berbeda bila diinterpretasikan secara berbeda oleh yang memberi response.” Hal ini membawa pergeseran dari pendekatan yang melulu empiristik kepada suatu interpretasi perilaku yang didasarkan pada adanya apriori atau skema perilaku bawaan yang disebut ”apriori” karena skema itu telah ada sebelum suatu pengalaman terjadi. Interpretasi ini berkembang dalam tradisi filsafat Jerman yang dipengaruhi oleh I. Kant. Ia berpendapat bahwa semua pengalaman tergantung pada forma apriori. Pandangan Kant ini mempengaruhi Lorenz yang berusaha menunjukkan bahwa forma atau kategori apriori yang memungkinkan semua pengalaman kita terkait dengan forma organ tubuh kita.
Heidegger memandang konsepsi manusia dalam kerangka paham humanisme. Humanisme menolak suatu asumsi mengenai manusia yang naturalistik dalam arti bahwa “esensi manusia merupakan organisme binatang”. Humanisme memandang manusia terutama sebagai suatu entitas yang berada di dalam dunia bersamaan dengan entitas yang lain, dan kemudian dari situ dicari ciri-cirinya yang khas. Humanisme mencari definisi mengenai manusia yang tidak memadai itu dengan merangkaikan “jiwa” dengan “badan”, akal budi dengan jiwa. Heidegger berpendapat bahwa selama filsafat modern menjadikan kesadaran sebagai titik tolak, maka konsepsi manusia akan tetap didasari oleh humanisme.
Di dalam semua bentuk humanisme, manusia ditempatkan di antara berbagai realitas dunia lainnya; manusia sebagai animal rationale dipandang dalam hubungannya dengan entitas dan bukan dalam hubungannya dengan “kebenaran Ada”. Itulah maksudnya kalau dikatakan bahwa esensi manusia terletak pada eksistensinya. Tubuh manusia secara esensial berbeda dari organisme hewan. Menurut Heidegger apa yang kita anggap sebagai animalitas pada manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hewan, tetapi harus didasarkan pada esensi dari ek-sistensinya. Manusia tidak seperti entitas lainnya. Entitas lain hanyalah ada. Entitas itu hadir, tetapi tidak “mencapai” dirinya, artinya “tidak memiliki kesadaran-diri”; entitas lain tidak “hadir pada dirinya”. Hanya atas dasar “kehadiran-pada-dirinya-sendiri” dari eksistensi, maka entitas lainnya dapat hadir. Inilah yang bagi kaum eksistensialis menjadi pengalaman asasi yang menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain.
Martin Buber menekankan struktur dialogal dan antarpersonal manusia dalam I-Thou atau Ich-Du, Aku-Anda. Relasi ini merupakan ciri pengalaman (Erfahrung) dan perjumpaan (Begegnung) atau ciri pengetahuan dialog. Tesis fundamental Buber adalah bahwa relasi dengan Anda (Du) merupakan relasi utama, fakta primer setiap antropologi dan filsafat.
“The relation can obtain even if the human being to whom I say You does not hear it in his experience. For You is more than It knows. No deception reaches this far: here is the cradle of actual life” [1]
Buber menolak bentuk relasi Ich-Es atau I-It, Aku-Itu, Aku-benda. Menurutnya, relasi semacam ini merupakan monolog (satu arah) dari subjek kepada objek. Relasi antara manusia-benda itu didominasi oleh pikiran (cogito), kehendak (volo) dan ego (ago) dan kemampuan (possum) menguasai dunia. Levinas, dalam buku yang berjudul Totalite et infini. Essai sur l’exteriorite, mengatakan bahwa setiap interpretasi manusia yang didasarkan pada pengutamaan “cogito” dan orientasi pada dunia material menandakan keinginan akan kekuasaan dan dicemarkan oleh mitos totalitas. Jenis relasi ini terjadi dalam sikap pragmatis, “sifat langsung”, yang lain secara langsung hadir, tanpa konsep, tanpa fantasi, tidak ada pengantara dalam pertemuan (penalaran, analogi dan lain-lain). Dalam relasi Aku-Itu, sesama diperlakukan sebagai objek. Sesamaku kuperlakukan seperti benda saja. Aku menggunakannya sejauh ia menguntungkanku. Aku tidak menghiraukannya jika aku tidak membutuhkannya. Aku mau membentuk dia sesuai dengan kehendakku sebagaimana aku memberi bentuk pada tanah, kayu atau batu. Aku tidak menghiraukan diri sesama sebagai yang unik dan otonom. Hubungan ini adalah dalam kerangka tuan-abdi, hubungan penguasaan Aku terhadap Itu. Sesamaku menjadi sahabatku karena kemampuannya yang bisa kumanfaatkan, karena kecantikannya, karena uangnya, karena kedudukannya. Kalau semuanya itu habis maka orang itu tidak berguna bagiku. Martin Heidegger mengatakan hubungan semacam ini berkecenderungan untuk melakukan tirani terhadap manusia. Yang impersonal menguasai dengan anonimitas. Relasi ini lebih banyak dikuasai oleh sifat ego yang bertendensi mereduksi realitas pada rasio ekplisit. Jenis relasi Aku-Itu juga muncul dalam kebencian. Dalam pandangan Sartre, realitas manusia (Heidegger Dasein) hanya menjadi objek di hadapan seseorang. Sikap benci merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri sebagai subjek. Sesamaku merupakan ancaman bagiku. Aku harus meniadakan sesamaku sebagai subjek. Aku benci sesamaku sebab kebencian itulah jalan satu-satunya untuk meniadakan diri sesamaku hingga dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengobjekkan diriku.
Dalam relasi Aku-Anda, tidak ada ruang horizon dunia (sebagaimana hubungan antar benda, tetapi ada ruang interpersonal (zwischen), antar subjektivitas yang terwujud dalam Aku dan Anda. Relasi Aku-Anda, dalam dunia masa kini, terbagi menjadi dua, yaitu relasi Aku-Dia, dan Aku-Engkau. Dalam relasi Aku-Dia sesamaku tidak diobjekkan, melainkan diakui sebagai subjek. Sikapku terhadapnya adalah netral dan acuh tak acuh. Orang tidak memperhatikan sesamanya. Aku tidak bertanggung jawab atas subjek lain. Pergaulanku dengannya bersifat anonim. Menurut Heidegger, relasi seperti ini adalah relasi impersonal. Mereka adalah yang lain “impersonal”, yang dapat digantikan oleh siapapun. Yang lain menjadi das Man. Heidegger melihat kehidupan sosial sehari-hari sebagai kawasan “yang impersonal”. Manusia karena memiliki akar eksistensial di dunia dan juga dalam Ada, memiliki “diri” yang ganda. “Diri” sehari-hari dan “diri” sosial. Eksistensi manusia dalam dunia sehari-hari masyarakat ditandai dengan heteronomi atau ketidak-otentikan; ia tidak memiliki “diri”nya, karena “diri”nya termasuk yang lain. Hubunganku dengannya tidak lebih daripada kernet bus kota, penjual rokok, ataupun petugas tiket kereta. Namanya tidak kukenal dan aku tidak berminat mengenalnya.
Manusia sebagai makhluk sosial merindukan suatu kesatuan dan kebersamaan yang semakin luas dan mendalam. Manusia sebagai pribadi ingin diakui dalam keunikannya dan keotentikannya. Maka, manusia terarah kepada suatu kesatuan di mana keunikan tidak terhapus, melainkan diakui dan diteguhkan. Relasi Aku-Engkau merupakan dua kutub yang setara dan merupakan hubungan timbal balik yang sempurna (Gegenseitigkeit). Dalam perjumpaan manusia secara otentik menjadi Aku dan yang lain secara otentik menjadi Engkau.
Aku adalah misteri tak terkatakan yang tak pernah merupakan pengalaman ilmiah. Yang lain juga tak pernah secara penuh “diketahui”, dia hadir sebagai misteri yang tak bisa ditangkap yang merefleksikan hubungan ilahi. Levinas mengejawantahkan refleksi Aku-Engkau ini dalam antropologi antarpersonal yang mengutamakan “yang lain”, yang dilukiskan dalam “epifani wajah”. Di sini terimplikasi dua hal fundamental: 1) kepastian “yang lain” sebagai “yang lain” membawa manusia kepada pengalaman metafisika dan religius; 2) pengakuan “yang lain” tidak hanya terjadi pada tingkat hubungan intim dan prive, tetapi harus menjadi tuntutan etis dan objektif. Untuk itulah, hubungan antarpersonal tak terpisahkan dari hubungan dengan Allah pencipta manusia. Perjumpaan dengan Engkau adalah juga jalan menuju Allah. Hubungan paradoksal ini ditemukan dalam relasi “Aku-Engkau” yang menuju pada cinta sejati. Sebagaimana Martin Buber, menurut Gabriel Marcel pengalaman utama manusia yang paling mendalam adalah pengalaman antarsubjektivitas yang termanifestasi dalam cinta.
Here alone beholding and being beheld, recognizing and being recognized, loving and being loved exist as an actuality that cannot be lost. ‘When a man is intimate with his wife, the longing of the eternal hills wafts about them.’ The relation to a human being is the proper metaphor for the relation to God – as genuine address is here accorded a genuine answer. But in God’s answer all, the All, reveals itself as language. [2]
Dalam cinta dua orang bersatu, mereka tetap dua dalam keunikan dan kekhasan masing-masing. Cinta sebagai sikap dasar tidak terbatas pada dua orang saja. Dalam cinta kuhayati suatu seruan untuk menciptakan suatu iklim pergaulan yang di dalamnya semua orang dapat menjadi diri. Pengaruh pribadi yang satu atas pribadi yang lain dalam relasi cinta bersifat bebas, aktif dan kreatif. Dalam kebersamaan yang penuh cinta, Aku menjadi aku dan Engkau menjadi engkau.
Pengakuan Levinas akan “yang lain” (pada taraf kognitif dan metafisik) tak pernah dipisahkan dari pengakuan yang lain dari dunia, maka tak pernah terpisahkan dalam dimensi etik. Ketelanjangan wajah adalah juga kehadiran yang “membutuhkan” di dunia ini: yang miskin, para janda, anak-anak, yang lapar, yang terpinggirkan, setiap orang yang menghendaki menjadi “seseorang” di hadapan yang lain, yang ingin diperlakukan sebagai “yang lain”. Di sinilah letak perbedaan dengan M. Buber yang terlalu membatasi diri pada tingkat pribadi. Sebagaimana pendapat Buber dan G. Marcel yang mengemukakan bahwa hubungan antarpersonal adalah tempat di mana “Yang Lain”, yaitu Allah, mewahyukan diri; Menemukan diri bertatap wajah dengan sesama, adalah juga menemukan diri di hadapan Yang Maha Tinggi.
Bagi Heidegger, manusia dalam hidup sehari-hari seharusnya adalah Mitdasein (ada bersama dengan yang lain). Sorge, keprihatinan tidak hanya keprihatinan berhadapan dengan benda-benda di dunia, tetapi juga Fursorge, yaitu peduli terhadap manusia lain. Dunia dihayati bersama orang lain. Kita tak pernah menjadi mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Kita selalu “concerned” dengan yang lain sebagai yang lain.
Salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi ialah dengan mengintensifkan kehadiran manusia pada dirinya yang bertubuh (embodied being). Manusia berada di dunia melalui tubuhnya. Tubuh, dalam jaman sekarang, menjadi sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan: sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Tubuh tidak hanya intrinsik pada identitas personal kita, tetapi juga pada perjumpaan sosial dan dalam politik. Tubuh kita berada dalam berbagai bentuk kekuasaan dan pengendalian. Representasi tubuh juga dibatasi, misalnya dalam aturan pornografi. Perhatian mengenai gambaran ideal tubuh berkembang dengan sangat cepat dengan adanya aerobik, body-building, tari, salon kecantikan, dan lain sebagainya.
Tinjauan naturalis tentang tubuh manusia mengasumsikan bahwa : 1) Tubuh adalah tubuh biologis dan harus dipahami dalam kerangka anatomis-fisiologis atau genetis; 2) Tubuh ada sebelum masyarakat dan lepas dari masyarakat. Makna tubuh bersifat fungsional daripada kebudayaan ; 3) Perbedaan seks adalah alami dan bawaan ; 4) Perbedaan ini menentukan cara masyarakat diorganisir.
Pandangan naturalisme dapat disebut sebagai determinisme biologis. Kritik terhadap cara pandang ini adalah mereka mereduksi semua perbedaan pada perbedaan biologis dan melalaikan faktor historis, sosial, struktural dan kultural. Misalnya, kritik mengenai superioritas pria dan inferioritas wanita, kritik terhadap peran biologis wanita dalam masyarakat, kritik terhadap paham patriarki, dan lain sebagainya. Teknologi semakin memungkinkan perubahan, bahkan mengganti bagian-bagian tubuh. Maka kemungkinan tubuh alami semata hilang. Sains dan teknologi terus-menerus membentuk kebertubuhan kita.
Tubuh, dalam pandangan kontruksionisme, dibentuk bahkan dibangun oleh faktor sosial. Bagi Foucault diskursus dan kekuasaan sangat menentukan. Berlawanan dengan pandangan naturalis, Foucault mengatakan bahwa tubuh adalah entitas yang “diinvestasikan”, yang mendapat makna spesifik historis dan dibentuk oleh kekuatan sejarah dan kekuasaan. Tubuh tidak memunculkan nilai, tetapi menjadi bermakna melalui diskursus. Diskursus mengatur dan menata tidak hanya pernyataan, tetapi jenis keinginan seksual yang boleh dialami oleh tubuh. Diskursus membagi dan mengklasifikasi bentuk-bentuk seksualitas serta menumbuhkan efek seksualitas pada tubuh. Diskursus juga menumbuhkan relasi tubuh dengan kekuasaan untuk mendisiplinkannya agar taat dan bermanfaat. Kekuasaan mengawasi tubuh kita (panoptikon). Kekuasaan mencengkram tubuh, membentuk operasi tubuh dan membuat tubuh dapat dimanipulasi untuk dimanfaatkan. Misalnya, etiket, balet, sepak bola dan lain-lain. Semuanya menunjukkan ketaatan tubuh (docility).
Erving Goffman berpendapat bahwa individu mempunyai kekuasaan terhadap tubuhnya, sejauh ia dapat menggunakan tubuhnya untuk menghasilkan efek yang berbeda dalam interaksi sosial. Maka tubuh adalah “sumber” yang tersedia bagi individu untuk digunakan dalam mempengaruhi dinamika interaksi sosial. Namun subjek tak dapat berbuat sebagaimana ia kehendaki, karena berbagai perilaku harus mengikuti “khasanah idiom tubuh”.
Pierre Bourdieu berpandangan bahwa, dalam masyarakat sekarang ini, tubuh sebagai suatu “project” dan telah menjadi suatu modal fisik dan budaya. Bagi Bourdieu, tubuh selalu “dalam proses”, tidak statis atau tetap, tetapi selalu berkembang dan selalu “dibuat” dan “dibuat lagi”. Tubuh bekerja sebagai pembawa nilai simbolik. Tubuh memberi status pada pemiliknya, kekuasaan atau kemampuan untuk menghasilkan keuntungan tertentu (finansial, kultural atau sosial). Tubuh dengan demikian dapat dikatakan menjadi semacam “modal” atau “kapital”. Profesi peraga busana/modeling tergantung pada kepemilikan suatu bentuk fisik tubuh. Demikian juga halnya dengan kemashuran dan keberhasilan dalam olah raga tergantung pada ketrampilan atau kemampuan fisik. Kelas sosial dominan menganggap tubuh sebagai tujuan pada dirinya. Sedangkan kelas pekerja mengganggap tubuhnya secara instrumental. Tubuh adalah sarana mencapai tujuan tertentu. Tubuh dibentuk menurut budaya kelas dan bagaimana modal fisik menghasilkan keuntungan berbeda-beda sesuai kelasnya.
Pierre Bourdieu berpandangan bahwa, dalam masyarakat sekarang ini, tubuh sebagai suatu “project” dan telah menjadi suatu modal fisik dan budaya. Bagi Bourdieu, tubuh selalu “dalam proses”, tidak statis atau tetap, tetapi selalu berkembang dan selalu “dibuat” dan “dibuat lagi”. Tubuh bekerja sebagai pembawa nilai simbolik. Tubuh memberi status pada pemiliknya, kekuasaan atau kemampuan untuk menghasilkan keuntungan tertentu (finansial, kultural atau sosial). Tubuh dengan demikian dapat dikatakan menjadi semacam “modal” atau “kapital”. Profesi peraga busana/modeling tergantung pada kepemilikan suatu bentuk fisik tubuh. Demikian juga halnya dengan kemashuran dan keberhasilan dalam olah raga tergantung pada ketrampilan atau kemampuan fisik. Kelas sosial dominan menganggap tubuh sebagai tujuan pada dirinya. Sedangkan kelas pekerja mengganggap tubuhnya secara instrumental. Tubuh adalah sarana mencapai tujuan tertentu. Tubuh dibentuk menurut budaya kelas dan bagaimana modal fisik menghasilkan keuntungan berbeda-beda sesuai kelasnya.
Berlawanan dengan antropologi dualistik yang membedakan tubuh dengan akal budi dan tubuh dengan jiwa, kita berhadapan dengan fakta bahwa pengalaman manusia memberikan kepastian yang mendalam mengenai kesatuan dengan tubuh yang dihayati. Setiap orang secara spontan memandang sebagai subjek yang satu dari tindakan spiritual dan jasmani. St. Thomas mengatakan bahwa manusia yang tumbuh, makan, berjalan,… adalah juga manusia yang berpikir dan berefleksi. Berpikir, berefleksi dan lain-lain tidak dikatakan dilakukan oleh manusia lain yang berbeda dari si manusia dengan daging dan tulang.
Kendati manusia adalah pengada organik, yang harus mewujudkan eksistensinya dalam tubuh dan melalui tubuh, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa manusia identik dengan tubuh. Gabriel Marcel mengaitkan ketidakidentikan itu dengan fakta bahwa kita terus-menerus menilai hidup kita dan berbagai ekspresi badani. Kita tidak hanya dapat menilai dan mengutuk secara abstrak, tetapi secara konkrit kita dapat mengakhiri hidup ini melalui bunuh diri. Indikasi lain adalah bahwa dalam pusat pribadi kita, ada dimensi yang tak bisa diobjektifikasi.
Dari analisis di atas kita dapat menyimpulkan baik jiwa dan tubuh menunjuk pada manusia secara utuh. Tubuh mengungkapkan bahwa manusia juga merupakan organisme hidup dan mewujudkan eksistensinya tak lepas dari kenyataan organiknya dan memberikannya makna manusiawi. Jiwa menunjukkan seluruh manusia sejauh manusia mewujudkan dirinya dalam tubuh tetapi tidak identik dengan tubuh.
Salah satu prinsip kehidupan yang khas manusia adalah bahwa manusia memiliki roh (embodied spirit). Dalam tradisi filsafat tradisional, roh diartikan sebagai secara intrinsik tidak tergantung oleh materi. Definisi demikian menunjukkan adanya dualisme (jiwa-badan ; roh-materi), yang menyatakan ketidaktergantungan intrinsik roh terhadap materi.
Pndekatan yang lain melihat adanya afinitas alami antara roh dan materi. Dalam berhadapan dengan materi roh didefinisikan sebagai “ratio”, yang mengkontemplasikan, menganalisis dan mentransformasikan materi. Materi dilihat sebagai alam yang menjadi objek kegiatan pembudayaan dan tranformasi dari pihak manusia. Ekspresi roh paling nyata adalah rasionalitas impersonal ilmu pengetahuan. Hegel dan kaum idealis melihat roh terutama dalam karya budaya, hasil aktivitas rasional manusia. Roh adalah pencipta budaya (rasionalitas universal), maka dapat disebut roh yang “mengobjektivasi-diri” dan roh juga keseluruhan perwujudan budaya.
Pendekatan ketiga mengatasi baik antitesis dengan materi (immateriale), maupun afinitas dengan materi (roh objektif dan rasional), dengan menekankan hubungan antar-personal/antar-pribadi. Dalam konteks ini, roh tidak memperlihatkan kualitas atau sifat yang berbeda dari materi, tetapi “keberlainan” subjek atau persona. Roh manusia tidak berlainan dengan dunia material, tetapi setiap orang ada sebagai subjek, persona, seseorang “Aku” berhadapan dengan “Engkau”. Menjadi pribadi, persona, subjek yang unik dan tak tertukarkan, bukan suatu kualitas (yang impersonal dan netral), tetapi sesuatu yang tidak masuk lagi dalam kancah kualitas dan kepemilikan dan kita tidak dapat menemukan atau merekonstruksikannya menurut akumulasi sifat-sifat. Pikiran, kehendak, kebebasan, dan lain-lain tidak ada pada roh. Semuanya itu adalah abstraksi. Yang ada adalah persona konkrit yang tak bida dipertukarkan. Berpikir, berkehendak, dan lain-lain itu adalah cara berada subjek personal. Persoalan “roh” tidak menyangkut immaterialitas dari kemampuan intelektif atau volitif, tetapi “keberlainan” dan “keunikan” setiap persona. Fakta intersubjektivitas persona adalah tempat di mana dengan jelas hakekat roh memanifestasikan diri dan dengan kepastian dimanifestasikan “ketidakmungkinan direduksikannya” roh ke dalam material badani dan evolutif. Manusia lain tak bisa dipertukarkan secara mutlak dipertukarkan dengan benda-benda dunia. Yang lain itu nampak terutama sebagai subjek lain di hadapanku dan tak dapat dicampuradukkan dengan aku. Ia dan aku unik dan eksterior. Pendekatan antar subjektiviatas ini memungkinkan kerohanian manusia menjadi nyata.
Karl Rahmer mengemukakan pendekatan kerohanian manusa lewat pengalaman yang paling konkrit, yaitu pengalaman “pernyataan” atau “judgement”. Ia mengemukakan cirri-ciri fundamental roh manusia :
- Kemampuan refleksi-diri: aku menyadari diriku bahwa aku mengatakan dan melakukan sesuatu.
Kemampuan abstraksi manusia menempatkan objek dalam universalitas.
- Keterbukaan akan yang tak terbatas sebagai kondisi a priori untuk dapat mengangkap yang terbatas (yang pertukaran); apapun yang masuk dalam horizon keterbukaan itu tidak dapat memenuhi cakupan horizon tak terbatas tersebut.
- Keterbukaan akan yang tak terbatas pada analisis terakhir adalah keterbukaan kepada ada yang mutlak, yang pada akhirnya keterbukaan kepada Allah. Itulah ciri khas manusia sebagai “roh”.
Refleksi atas manusia yang memiliki eksistensi “tubuh” dan “roh” adalah bahwa manusia sebagai persona yang melalui roh dan tubuh hadir di dunia. Tidak ada “roh”, tak mungkin persona memikirkan suatu “cara-berada” yang sekaligus suatu “cara-berada-di-dunia”. “Aku” yang adalah roh dan badanku mempunyai pengalaman asasi bereksistensi. Tidak akan ditemukan “Aku” yang terpisah dari dunia dan juga tidak ditemukan suatu dunia yang terpisah dari aku. Rohku menjadi manusiawi karena kesatuannya dengan badanku. Jika badanku sakit, rohku berteriak, dan akulah yang sakit. Badanku dan rohku identik, tetapi sekaligus tidak identik. Wajahku tampak sangar, padahal sebenarnya hatiku baik. “Aku” bisa melakukan semuanya itu karena aku sebagai manusia yang paradoksal.
- Kemampuan refleksi-diri: aku menyadari diriku bahwa aku mengatakan dan melakukan sesuatu.
Kemampuan abstraksi manusia menempatkan objek dalam universalitas.
- Keterbukaan akan yang tak terbatas sebagai kondisi a priori untuk dapat mengangkap yang terbatas (yang pertukaran); apapun yang masuk dalam horizon keterbukaan itu tidak dapat memenuhi cakupan horizon tak terbatas tersebut.
- Keterbukaan akan yang tak terbatas pada analisis terakhir adalah keterbukaan kepada ada yang mutlak, yang pada akhirnya keterbukaan kepada Allah. Itulah ciri khas manusia sebagai “roh”.
Refleksi atas manusia yang memiliki eksistensi “tubuh” dan “roh” adalah bahwa manusia sebagai persona yang melalui roh dan tubuh hadir di dunia. Tidak ada “roh”, tak mungkin persona memikirkan suatu “cara-berada” yang sekaligus suatu “cara-berada-di-dunia”. “Aku” yang adalah roh dan badanku mempunyai pengalaman asasi bereksistensi. Tidak akan ditemukan “Aku” yang terpisah dari dunia dan juga tidak ditemukan suatu dunia yang terpisah dari aku. Rohku menjadi manusiawi karena kesatuannya dengan badanku. Jika badanku sakit, rohku berteriak, dan akulah yang sakit. Badanku dan rohku identik, tetapi sekaligus tidak identik. Wajahku tampak sangar, padahal sebenarnya hatiku baik. “Aku” bisa melakukan semuanya itu karena aku sebagai manusia yang paradoksal.
Kodrat manusia yang paling dasariah ialah will to power, kehendak untuk berkuasa. Sedangkan, menurutnya, moralitas Kristen telah mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. “Hidup adalah berkehendak untuk mengakumulasi kekuatan… Di mana aku menemukan makhluk hidup, di situ aku menemukan kehendak untuk berkuasa, pun dalam kehendak seorang budak, aku mendapatkan kehendak untuk menjadi tuan.” Manusia menginginkan kebahagiaan Apakah kebahagiaan itu? Bagi Nietzsche kebahagiaan adalah perasaan bahwa kekuasaan tumbuh, perlawanan dapat diatasi. Kehendak untuk berkuasa adalah kehendak untuk kesempumaan, dorongan untuk menjadi istimewa. Tujuan kekuasaan adalah “mengatasi-diri” – kekuasaan untuk mengatasi hambatan. Hambatan itu dapat merupakan unsur “apolonian”, yaitu unsur kognitif gagasan-gagasan yang mengatur hidup kita; atau unsur “dionesian”, yaitu nafsu-nafsu kita; dapat pula berupa moralitas dan nilai-nilai ilahi. yaitu nilai-nilai moral yang absolut. Moral Kristen dianggapnya sebagai moral “budak” yang harus diatasi oleh moral “tuan”. Menurut Nietzsche moral “tuan” sama sekali bertentangan dengan moral “budak” yang menurut Nietzsche ada dalam agama Kristen seperti kerendahan hati, belas kasihan, lemah lembut, sabar dan murah hati. Semuanya itu harus diatasi.
Pandangan Nietzsche terhadap kemanusiaan adalah suatu bentuk transisi. Di dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, ia mengatakan: “Aku mengajarkan kamu Ubermensch (superman). Manusia adalah realitas yang harus diatasi. Kamu telah melewati perjalanan dari ulat kepada manusia dan masih banyak dalam dirimu ulat. Suatu saat dulu kamu adalah kera, tetapi manusia masih lebih kera dari pada kera mana pun…. Manusia adalah seutas tali yang terbentang antara hewan dan Ubermensch – tali di atas jurang. Berbahayalah menyeberang, berbahayalah jalan, berbahayalah menengok ke belakang, berbahayalah rasa gemetar dan berhenti di jalan. Manusia adalah besar, karena ia jembatan, bukan tujuan. Manusia dapat dicintai, tetapi manusia yang mencintai itu adalah suatu transisi dan akan lenyap.” Bagi Nietzsche kemanusiaan adalah bentuk sementara dan akan hilang serta ditransformir.
Manusia sekarang harus dilihat sebagai suatu peralihan dari binatang ke “Superman” (Ubermensch). Menurut Nietzsche manusia sekarang harus diatasi oleh “Superman”. “Superman” merupakan titik akhir dan perkembangan ke arahnya diperlukan. “Superman” berkuasa atas manusia lemah dan bodoh. Nietzsche mengatakan bahwa:
Pandangan Nietzsche terhadap kemanusiaan adalah suatu bentuk transisi. Di dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, ia mengatakan: “Aku mengajarkan kamu Ubermensch (superman). Manusia adalah realitas yang harus diatasi. Kamu telah melewati perjalanan dari ulat kepada manusia dan masih banyak dalam dirimu ulat. Suatu saat dulu kamu adalah kera, tetapi manusia masih lebih kera dari pada kera mana pun…. Manusia adalah seutas tali yang terbentang antara hewan dan Ubermensch – tali di atas jurang. Berbahayalah menyeberang, berbahayalah jalan, berbahayalah menengok ke belakang, berbahayalah rasa gemetar dan berhenti di jalan. Manusia adalah besar, karena ia jembatan, bukan tujuan. Manusia dapat dicintai, tetapi manusia yang mencintai itu adalah suatu transisi dan akan lenyap.” Bagi Nietzsche kemanusiaan adalah bentuk sementara dan akan hilang serta ditransformir.
Manusia sekarang harus dilihat sebagai suatu peralihan dari binatang ke “Superman” (Ubermensch). Menurut Nietzsche manusia sekarang harus diatasi oleh “Superman”. “Superman” merupakan titik akhir dan perkembangan ke arahnya diperlukan. “Superman” berkuasa atas manusia lemah dan bodoh. Nietzsche mengatakan bahwa:
“But now God is died! You Higher Man, this God was your greatest danger. Only since he has lain in the grave have you again been resurrected. Only now does the great noontide come, only now does the Higher Man become – lord and master!… Come on, you Higher Man! Only now does the mountain of mankind’s future labour. God has died: now we desire – that the Superman shall live” [3]
Nietzsche berharap bahwa orang-orang harus mempersiapkan diri untuk menjadi “Superman” untuk berkuasa. Itulah motivasi dan tujuan hidup manusia: Manusia adalah pengganti Allah. Manusia adalah pencipta nilai yang baik dan buruk. Tetapi, menurut Nietzsche, perjuangan itu tidak terarah kepada tujuan yang akan tercapai secara definitive. Perjuangan itu akan selalu terulang kembali, suatu “perjuangan kekal”. Perjuangan menuju “Superman” terulang terus-menerus secara siklis.
Cara pandang Nietzsche bersifat individualistis. Filsafat Nietzsche tentang “Ubermensch” bukanlah manusia yang menuju suatu kesatuan dalam cinta. “Superman” terlalu sombong dan egois. Manusia dalam pandangan Nietzsche adalah manusia yang berada dalam proses “the struggle for life”. Ia hanya dapat menang dengan menjadi “Ubermensch” dengan kehendak untuk berkuasa. Manusia yang berbelas kasih, rendah hati, lembah lembut dan murah hati akan kalah. Tidak ada tempat di masa depan untuk manusia yang bermoral “budak”.
Pengetahuan (episteme) adalah salah satu kemampuan khas manusia yang membentuk peradaban global dan membawa akibat-akibat besar terhadap kodrat kemanusiaan sekaligus yang membedakannya dengan binatang. Manusia mempunyai tiga aspek yang berbeda dengan binatang: terikat pada indera, pada bahasa, dan pada praksis.
Cara pandang Nietzsche bersifat individualistis. Filsafat Nietzsche tentang “Ubermensch” bukanlah manusia yang menuju suatu kesatuan dalam cinta. “Superman” terlalu sombong dan egois. Manusia dalam pandangan Nietzsche adalah manusia yang berada dalam proses “the struggle for life”. Ia hanya dapat menang dengan menjadi “Ubermensch” dengan kehendak untuk berkuasa. Manusia yang berbelas kasih, rendah hati, lembah lembut dan murah hati akan kalah. Tidak ada tempat di masa depan untuk manusia yang bermoral “budak”.
Pengetahuan (episteme) adalah salah satu kemampuan khas manusia yang membentuk peradaban global dan membawa akibat-akibat besar terhadap kodrat kemanusiaan sekaligus yang membedakannya dengan binatang. Manusia mempunyai tiga aspek yang berbeda dengan binatang: terikat pada indera, pada bahasa, dan pada praksis.
A. Indera
Antropologi dualistik mengenal dua pengetahuan yang berbeda, yaitu pengetahuan indrawi (sensitive), yang tidak ditembus oleh intelek dan pengetahuan intelektif, yang tidak tercampur dengan unsure material. Pengetahuan indrawi pada manusia tidak berbeda dari pengetahuan indrawi hewan.
Kenyataannya sungguh berbeda. Pada manusia tidak ada pengetahuan sensitif/inderawi yang identik dengan pengetahuan hewan: pun tak ada pengetahuan intelektif yang sepenuhnya spiritual dan tidak tergantung pada tubuh. Bila manusia melihat atau merasa ia tidak hanya melihat atau merasa benda-benda spasial dan material lepas dari makna manusiawi. Manusia menangkap suatu dunia manusiawi, yang diorganisasikan dan dapat diorganisasikan menurut kategori rasional. Bila manusia berpikir atau berefleksi. ia tidak melepaskan diri sama sekali dari lingkungannya dalam idea murni, ia berada dalam dunia konkrit. Ia berusaha memahami sesuatu melalui formulasi konsep-konsep dan pernyataan ilmiah. Pengetahuan sensitif/inderawi dan pengetahuan intelektif tidak menunjukkan dua pengetahuan berbeda, hanya ada perbedaan aspek dari satu pengetahuan manusia. Seperti kata Xavier Zubiri “itu berarti bahwa perasaan manusia adalah sudah secara intrinsik intelektif… dan mengetahui (intelektif) adalah pada dasarnya dan secara konstititif mengetahui dengan merasakan”.
Hal tersebut tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan. Pengetahuan sensitif/inderawi menekankan fakta bahwa pengetahuan manusia memiliki komponen atau dimensi sensitif/inderawi. Pengetahuan intelektif menekankan fakta bahwa pengetahuan manusia yang sama “merasionalisasikan” atau “mengkonsepkan” kenyataan. Bila aku melihat, misalnya sebuah mobil, aku mengerti bahwa mobil tidak hanya mobil itu, karena aku mengetahui itu sebagai mobil dan karenanya merupakan perwujudan dari idea mobil. Pengetahuan manusia terletak pada ketegangan antara dua aspek, sensitif dan intelektif, yang sekaligus hadir. Perhatian dan maksud dapat diarahkan pada observasi sensitif/inderawi. atau perhatian dan maksud lebih terarah pada konseptualisasi.
Dalam kenyataan konkrit setiap pengetahuan inderawi diresapi oleh rasionalitas dan ide. Bukan mata yang melihat, bukan telingi yang mendengar: selalu manusia yang melihat dan mendengar. Dalam kontak empirik dengan dunia manusia membawa serta ide, makna dan penilaiannya. Maka kita menjumpai dunia yang diatur dan diselebungi oleh makna manusiawi.
Antropologi dualistik mengenal dua pengetahuan yang berbeda, yaitu pengetahuan indrawi (sensitive), yang tidak ditembus oleh intelek dan pengetahuan intelektif, yang tidak tercampur dengan unsure material. Pengetahuan indrawi pada manusia tidak berbeda dari pengetahuan indrawi hewan.
Kenyataannya sungguh berbeda. Pada manusia tidak ada pengetahuan sensitif/inderawi yang identik dengan pengetahuan hewan: pun tak ada pengetahuan intelektif yang sepenuhnya spiritual dan tidak tergantung pada tubuh. Bila manusia melihat atau merasa ia tidak hanya melihat atau merasa benda-benda spasial dan material lepas dari makna manusiawi. Manusia menangkap suatu dunia manusiawi, yang diorganisasikan dan dapat diorganisasikan menurut kategori rasional. Bila manusia berpikir atau berefleksi. ia tidak melepaskan diri sama sekali dari lingkungannya dalam idea murni, ia berada dalam dunia konkrit. Ia berusaha memahami sesuatu melalui formulasi konsep-konsep dan pernyataan ilmiah. Pengetahuan sensitif/inderawi dan pengetahuan intelektif tidak menunjukkan dua pengetahuan berbeda, hanya ada perbedaan aspek dari satu pengetahuan manusia. Seperti kata Xavier Zubiri “itu berarti bahwa perasaan manusia adalah sudah secara intrinsik intelektif… dan mengetahui (intelektif) adalah pada dasarnya dan secara konstititif mengetahui dengan merasakan”.
Hal tersebut tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan. Pengetahuan sensitif/inderawi menekankan fakta bahwa pengetahuan manusia memiliki komponen atau dimensi sensitif/inderawi. Pengetahuan intelektif menekankan fakta bahwa pengetahuan manusia yang sama “merasionalisasikan” atau “mengkonsepkan” kenyataan. Bila aku melihat, misalnya sebuah mobil, aku mengerti bahwa mobil tidak hanya mobil itu, karena aku mengetahui itu sebagai mobil dan karenanya merupakan perwujudan dari idea mobil. Pengetahuan manusia terletak pada ketegangan antara dua aspek, sensitif dan intelektif, yang sekaligus hadir. Perhatian dan maksud dapat diarahkan pada observasi sensitif/inderawi. atau perhatian dan maksud lebih terarah pada konseptualisasi.
Dalam kenyataan konkrit setiap pengetahuan inderawi diresapi oleh rasionalitas dan ide. Bukan mata yang melihat, bukan telingi yang mendengar: selalu manusia yang melihat dan mendengar. Dalam kontak empirik dengan dunia manusia membawa serta ide, makna dan penilaiannya. Maka kita menjumpai dunia yang diatur dan diselebungi oleh makna manusiawi.
B. Bahasa
Bahasa (Sprache) diungkapkan dalam diskursus. Bahasa, dimengerti secara otentik, memungkinkan manusia untuk menjadi lebih dekat kepada benda-benda. Bahasa memungkinkan manusia yang diajak bicara menjadi lebih dekat dengan apa yang dibicarakan. Secara ontologism penyair atau filsuf berusaha membawa kebenaran Ada lebih dekat dengan kita. Dalam bentuknya yang tidak otentik, bahasa adalah omongan (Gerede), yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Manusia kehilangan keinginan dan kemampuan untuk pemahaman sejati (Verstehen). Karena dalam “omongan” orang memahami yang dikatakan tetapi tidak memahami maknanya.
Bahasa (Sprache) diungkapkan dalam diskursus. Bahasa, dimengerti secara otentik, memungkinkan manusia untuk menjadi lebih dekat kepada benda-benda. Bahasa memungkinkan manusia yang diajak bicara menjadi lebih dekat dengan apa yang dibicarakan. Secara ontologism penyair atau filsuf berusaha membawa kebenaran Ada lebih dekat dengan kita. Dalam bentuknya yang tidak otentik, bahasa adalah omongan (Gerede), yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Manusia kehilangan keinginan dan kemampuan untuk pemahaman sejati (Verstehen). Karena dalam “omongan” orang memahami yang dikatakan tetapi tidak memahami maknanya.
C. Praksis
Kebenaran tertentu tak bisa diperoleh di luar praksis: kita harus mempraktekkan suatu kebenaran untuk menangkap implikasinya dan untuk membuat kemajuan. Hal tersebut berlaku dalam pengetahuan alam ilmiah, dimana perkembangannya sangat ditentukan oleh kemajuan teknik. Hal yang sama juga berlaku bagi kemajuan ilmu social dan etika. Kita harus menghayati bentuk-bentuk baru kehidupan sosial untuk membuktikan bahwa hubungan sosial yang lain mungkin. Tindakan dan praksis, karena itu, merupakan “tempat” dimana kebenaran “menjelma” dan mendapatkan kemungkinannya untuk berkembang.
Dimensi operatif dari praksis sangat menentukan bagi kebenaran religius dan moral, karena hal itu pada dasarnya mengacu kepada praksis. Kebenaran etis dan religius tak dapat diketahui secara mendalam tanpa praksis.
Kebenaran tertentu tak bisa diperoleh di luar praksis: kita harus mempraktekkan suatu kebenaran untuk menangkap implikasinya dan untuk membuat kemajuan. Hal tersebut berlaku dalam pengetahuan alam ilmiah, dimana perkembangannya sangat ditentukan oleh kemajuan teknik. Hal yang sama juga berlaku bagi kemajuan ilmu social dan etika. Kita harus menghayati bentuk-bentuk baru kehidupan sosial untuk membuktikan bahwa hubungan sosial yang lain mungkin. Tindakan dan praksis, karena itu, merupakan “tempat” dimana kebenaran “menjelma” dan mendapatkan kemungkinannya untuk berkembang.
Dimensi operatif dari praksis sangat menentukan bagi kebenaran religius dan moral, karena hal itu pada dasarnya mengacu kepada praksis. Kebenaran etis dan religius tak dapat diketahui secara mendalam tanpa praksis.
Manusia adalah makhluk yang bebas dan terikat. Suatu paradoks. Kepastian tentang kebebasan diperoleh dengan mengintensifkan kehadiran pada diri sendiri. Manusia secara spontan pun tahu tentang kebebasan karena ia hadir pada dirinya sendiri yang bertindak. Manusia bebas untuk memilih sekaligus secara kodrati terdorong untuk menuju diri yang sejati. “Jadilah diri yang sejati”. Inilah seruan yang mengikat tiap manusia secara etis. Seruan itu bersifat paradoksal. Seruan dihayati sebagai suatu keharusan, namun harus dilaksanakan secara bebas.
Secara negatif kata “bebas” berarti tidak ada paksaan. Paksaan bisa menyangkut fisik, psikologis, sosial, histories, dan sebagainya. Semua faktor tersebut ikut menentukan kelakuan manusia. Jika factor-faktor itu menentukan kelakuan secara menyeluruh, maka tindakan tidak lagi disebut bebas. Inti dan hakikat kebebasan ialah bahwa penentuan datang dari diriku sendiri. Maka, hakikat kebebasan adalah penentuan diri (self determination).
Kebebasan eksisensiil atau disebut juga kebebasan batin (inner freedom), kebebasan pribadi (personal freedom), kebebasan metafisik (metaphysical freedom), atau kebebasan kehendak (free will) adalah kemampuan manusia untuk menentukan diri, tindakannya dan sikapnya. Disebut kebebasan eksistensiil karena kebebasan melekat dalam hakekat manusia sebagai eksistensi. Disebut kebebasan batin karena ada “di dalam” diri manusia dan tak pernah dapat dihapus oleh peksaan dari luar. Disebut personal freedom karena kebebasan ini membedakan tindakan manusia dari kejadian alami. Disebut sebagai kebebasan metafisik karena tidak dapat secara empiris diobservasi, tetapi riil ada. Kebebasan manusia terejawantahkan dalam tindakannya sebagai berikut:
a. Manusia mampu mengambil jarak terhadap realitas di sekelilingnya; ia dapat menangkap realitas itu sebagai “objek” yang dapat diamati dan dipertimbangkan.
b. Tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengambil jarak terhadap alam, manusia juga memiliki kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya, maka ia menjadi sadar-diri. Pengambilan jarak inilah yang telah menciptakan “terobosan”, sehingga memungkinkan kebebasan manusia dan transendensi.
c. Akal budi atau intelek manusia terarah kepada yang tak terbatas. Demikian juga kehendak manusia terarah pada kebaikan yang tak terbatas.
d. Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan (hegemonikon), suatu kemampuan sadar dan rasional untuk mengarahkan, mempersatukan dan membedakan tindakan dan sikap manusia.
e. Tindakan bebas manusia merupakan hasil dari suatu dialog antara akal budi dan kehendak. Keduanya bersatu dalam fase pemilihan atau keputusan.
Kebebasan manusia adalah kebebasan-dalam-institusi. Manusia berada-di-dunia dengan kebebasannya. Manusia mewujudkan dirinya bersama dengan yang lain dalam suatu kebudayaan yang telah ada dan harus diasimilasi sejak masih bayi. Oleh karena itu kebebasan manusia adalah kebebasan dalam faktisitas dan situasi, antara lain:
- dunia materiil, alami dan biologis dengan kekuatan dan struktur di dalamnya; kondisi klimatologis, bencana alam, penyakit dan lain-lain mewujudkan situasi fundamental;
- waktu di mana manusia harus mewujudkan diri secara bertahap, tidak mungkin dicapai dengan satu tindakan saja;
- ruang yang membatasi gerak, ruang sosial di mana manusia menjumpai yang lain;
- kondisi genetic yang diwarisi;
- opini public yang mengkondisikan pandangan kita;
- pilihan-pilihan yang telah dilakukan, pekerjaan, karir;
- kekuatan bawah sadar;
- kondisi budaya yang merupakan pengaruh terbesar.
Situasi dan faktisitas tersebut membatasi kemungkinan bertindak secara bebas, tetapi tidak menghapus seluruh kebebasan kita.
Kebebasan dibatasi oleh faktisitas, namun dalam faktisitas juga terkandung kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya. Faktisitas sebenarnya membatasi sekaligus mengandung kemungkinan yang riil. Tidak ada faktisitas tanpa kemungkinan. Orang yang memiliki tangan lumpuh tidak dapat menjadi petinju, namun ia dapat “bersalaman” dengan orang lain dengan senyumnya. Ia dapat menjadi guru, bupati dan bahkan menjadi menteri. Menerima diri berarti menerima diri dengan faktisitasnya.
Secara negatif kata “bebas” berarti tidak ada paksaan. Paksaan bisa menyangkut fisik, psikologis, sosial, histories, dan sebagainya. Semua faktor tersebut ikut menentukan kelakuan manusia. Jika factor-faktor itu menentukan kelakuan secara menyeluruh, maka tindakan tidak lagi disebut bebas. Inti dan hakikat kebebasan ialah bahwa penentuan datang dari diriku sendiri. Maka, hakikat kebebasan adalah penentuan diri (self determination).
Kebebasan eksisensiil atau disebut juga kebebasan batin (inner freedom), kebebasan pribadi (personal freedom), kebebasan metafisik (metaphysical freedom), atau kebebasan kehendak (free will) adalah kemampuan manusia untuk menentukan diri, tindakannya dan sikapnya. Disebut kebebasan eksistensiil karena kebebasan melekat dalam hakekat manusia sebagai eksistensi. Disebut kebebasan batin karena ada “di dalam” diri manusia dan tak pernah dapat dihapus oleh peksaan dari luar. Disebut personal freedom karena kebebasan ini membedakan tindakan manusia dari kejadian alami. Disebut sebagai kebebasan metafisik karena tidak dapat secara empiris diobservasi, tetapi riil ada. Kebebasan manusia terejawantahkan dalam tindakannya sebagai berikut:
a. Manusia mampu mengambil jarak terhadap realitas di sekelilingnya; ia dapat menangkap realitas itu sebagai “objek” yang dapat diamati dan dipertimbangkan.
b. Tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengambil jarak terhadap alam, manusia juga memiliki kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya, maka ia menjadi sadar-diri. Pengambilan jarak inilah yang telah menciptakan “terobosan”, sehingga memungkinkan kebebasan manusia dan transendensi.
c. Akal budi atau intelek manusia terarah kepada yang tak terbatas. Demikian juga kehendak manusia terarah pada kebaikan yang tak terbatas.
d. Manusia juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan (hegemonikon), suatu kemampuan sadar dan rasional untuk mengarahkan, mempersatukan dan membedakan tindakan dan sikap manusia.
e. Tindakan bebas manusia merupakan hasil dari suatu dialog antara akal budi dan kehendak. Keduanya bersatu dalam fase pemilihan atau keputusan.
Kebebasan manusia adalah kebebasan-dalam-institusi. Manusia berada-di-dunia dengan kebebasannya. Manusia mewujudkan dirinya bersama dengan yang lain dalam suatu kebudayaan yang telah ada dan harus diasimilasi sejak masih bayi. Oleh karena itu kebebasan manusia adalah kebebasan dalam faktisitas dan situasi, antara lain:
- dunia materiil, alami dan biologis dengan kekuatan dan struktur di dalamnya; kondisi klimatologis, bencana alam, penyakit dan lain-lain mewujudkan situasi fundamental;
- waktu di mana manusia harus mewujudkan diri secara bertahap, tidak mungkin dicapai dengan satu tindakan saja;
- ruang yang membatasi gerak, ruang sosial di mana manusia menjumpai yang lain;
- kondisi genetic yang diwarisi;
- opini public yang mengkondisikan pandangan kita;
- pilihan-pilihan yang telah dilakukan, pekerjaan, karir;
- kekuatan bawah sadar;
- kondisi budaya yang merupakan pengaruh terbesar.
Situasi dan faktisitas tersebut membatasi kemungkinan bertindak secara bebas, tetapi tidak menghapus seluruh kebebasan kita.
Kebebasan dibatasi oleh faktisitas, namun dalam faktisitas juga terkandung kemungkinan-kemungkinan yang terbuka baginya. Faktisitas sebenarnya membatasi sekaligus mengandung kemungkinan yang riil. Tidak ada faktisitas tanpa kemungkinan. Orang yang memiliki tangan lumpuh tidak dapat menjadi petinju, namun ia dapat “bersalaman” dengan orang lain dengan senyumnya. Ia dapat menjadi guru, bupati dan bahkan menjadi menteri. Menerima diri berarti menerima diri dengan faktisitasnya.
“Most people do not really want freedom, because freedom involves responsibility, and most people are frightened of responsibility.”
(Sigmund Freud)
(Sigmund Freud)
Sigmund Freud mengatakan bahwa kelakuan kita telah ditentukan oleh dorongan tidak sadar, dan diatur oleh superego. Freud melihat manusia secara mekanistik. Ego spiritual dan personal dilihat sangat lemah terhadap dorongan tidak sadar.
Namun demikian, super ego dapat juga terarah kepada yang jahat. Secara perlahan dalam diri manusia terbentuk suatu arah yang semakin dominan dalam menentukan pilihan. Terbuka kemungkinan untuk semakin menuju diri sejati, tetapi juga terbuka kepada yang tidak sesuai dengan panggilan kodrati. Setiap perbuatan baik memperkuat arah menuju kebaikan. Setiap perbuatan jahat memperkuat kecenderuangan menuju jahat. Bila pandangan Freud dilepaskan dari kerangka deterministik dan materialistik sebagaimana anggapan tentang Freud pada umumnya, kita dapat melihat kemungkinan untuk sampai pada kebebasan yang lebih seimbang. Dengan selalu mengarahkan super ego kita ke arah yang baik, arah kepada diri sejati semakin dominan. Orang tak perlu setiap kali mempertimbangkan pro dan kontra. Orang yang setia dengan super ego yang terasah dengan kebaikan dalam hal kecil, akan juga setia dalam hal yang besar. Keterarahan makin kuat dan tetap menuju diri yang baik. Hal itu hanya mungkin kalau ditempuh jalur untuk menerima dan mengintegrasikan dorongan tak sadar, terutama seksualitas, dalam keseluruhan eksistensi manusia.
Namun demikian, super ego dapat juga terarah kepada yang jahat. Secara perlahan dalam diri manusia terbentuk suatu arah yang semakin dominan dalam menentukan pilihan. Terbuka kemungkinan untuk semakin menuju diri sejati, tetapi juga terbuka kepada yang tidak sesuai dengan panggilan kodrati. Setiap perbuatan baik memperkuat arah menuju kebaikan. Setiap perbuatan jahat memperkuat kecenderuangan menuju jahat. Bila pandangan Freud dilepaskan dari kerangka deterministik dan materialistik sebagaimana anggapan tentang Freud pada umumnya, kita dapat melihat kemungkinan untuk sampai pada kebebasan yang lebih seimbang. Dengan selalu mengarahkan super ego kita ke arah yang baik, arah kepada diri sejati semakin dominan. Orang tak perlu setiap kali mempertimbangkan pro dan kontra. Orang yang setia dengan super ego yang terasah dengan kebaikan dalam hal kecil, akan juga setia dalam hal yang besar. Keterarahan makin kuat dan tetap menuju diri yang baik. Hal itu hanya mungkin kalau ditempuh jalur untuk menerima dan mengintegrasikan dorongan tak sadar, terutama seksualitas, dalam keseluruhan eksistensi manusia.
Keputusan yang salah terhadap penggunaan teknologi memberikan dampak yang signifikan terhadap sejarah dan kehidupan manusia. Selama ini, apa yang kita pahami mengenai teknologi sepertinya kurang memuaskan. Hanya jika kita mau memahami apa itu teknologi dan bagaimana menyikapinya dengan bijak, kita akan andil dalam meredam pudarnya sejarah sebagai waktu yang bermakna dan sekaligus meredam kehancuran dunia sebagai dampak dalam pemakaian teknologi modern.
Memudarnya sejarah sebagai waktu yang bermakna, tidak hanya diakibatkan melemahnya kepercayaan Yahudi-Kristiani, tetapi juga diakibatkan oleh sifat teknik yang “tidak memiliki tujuan akhir”. Teknik/teknologi tidak mengenal batas dalam hal ruang lingkupnya, maupun hasilnya, karena hasil selalu tergantung pada “prosedur”. Sementara itu dalam visi Yahudi-Kristiani ada kepercayaan akan kontinuitas sejarah, segala sesuatu bersifat relatif kalau ditinjau dari tujuan akhir yang mutlak. Tak suatu pun menjadi definitive dan tak bisa diperbaiki. Kontinuitas sejarah ini dihapus oleh teknik yang bersifat “afinalistik” atau tanpa tujuan akhir. Waktu tidak lagi menjadi sejarah, karena yang harus memberikan makna pada waktu, yaitu ideologi, politik, etika, agama dikebawahkan pada teknologi.
Kita sekarang tidak lagi hidup dalam lingkungan alami, pun tidak dalam lingkungan sejarah, karena kita tidak dapat menyebut waktu “tanpa arah” sebagai sejarah. Kita hidup dalam “percepatan” waktu, yang menelan masa kini dengan percepatan yang semakin besar. Kita juga tidak dapat berbicara menganai “kemajuan”, yang merupakan “perkembangan” dalam horizon makna. Kita hanya berbicara dengan para ekonom tentang “pembangunan dan pertumbuhan”, atau suatu proses evolutif atas dasar kemajuan sebelumnya, tanpa acuan nilai. Waktu kehilangan ciri kualitatifnya. Masa depan bukan lagi “pengharapan”, dimana dapat dicari “obat” untuk penyakit masa lalu, tetapi semata-mata menjadi waktu yang datang “sesudah” masa kini.
Memudarnya sejarah sebagai waktu yang bermakna, tidak hanya diakibatkan melemahnya kepercayaan Yahudi-Kristiani, tetapi juga diakibatkan oleh sifat teknik yang “tidak memiliki tujuan akhir”. Teknik/teknologi tidak mengenal batas dalam hal ruang lingkupnya, maupun hasilnya, karena hasil selalu tergantung pada “prosedur”. Sementara itu dalam visi Yahudi-Kristiani ada kepercayaan akan kontinuitas sejarah, segala sesuatu bersifat relatif kalau ditinjau dari tujuan akhir yang mutlak. Tak suatu pun menjadi definitive dan tak bisa diperbaiki. Kontinuitas sejarah ini dihapus oleh teknik yang bersifat “afinalistik” atau tanpa tujuan akhir. Waktu tidak lagi menjadi sejarah, karena yang harus memberikan makna pada waktu, yaitu ideologi, politik, etika, agama dikebawahkan pada teknologi.
Kita sekarang tidak lagi hidup dalam lingkungan alami, pun tidak dalam lingkungan sejarah, karena kita tidak dapat menyebut waktu “tanpa arah” sebagai sejarah. Kita hidup dalam “percepatan” waktu, yang menelan masa kini dengan percepatan yang semakin besar. Kita juga tidak dapat berbicara menganai “kemajuan”, yang merupakan “perkembangan” dalam horizon makna. Kita hanya berbicara dengan para ekonom tentang “pembangunan dan pertumbuhan”, atau suatu proses evolutif atas dasar kemajuan sebelumnya, tanpa acuan nilai. Waktu kehilangan ciri kualitatifnya. Masa depan bukan lagi “pengharapan”, dimana dapat dicari “obat” untuk penyakit masa lalu, tetapi semata-mata menjadi waktu yang datang “sesudah” masa kini.
M. Heidegger mendefinisikan teknologi sebagai alat, instrumen untuk suatu tujuan, tetapi sekaligus juga sebagai aktivitas manusia. Definisi ini adalah “tepat” tetapi belum mengungkapkan seluruh kebenaran teknologi sebagai instrumen dan aktivitas dalam lingkup “ontik”. Teknologi tidak hanya “ontik”, tetapi “ontologis”. Teknologi tidak hanya merupakan kumpulan benda dan aktivitas, tetapi suatu “modus kebenaran”. “mode of truth”.
Teknologi sebenarnya bukan semata-mata cara membuat benda, tetapi cara mewujudkan benda yang mendahului tindakan “membuat”. Techne, dalam bahasa Yunani, tidak berarti seni atau kerajinan dan bukan suatu “teknikal” dalam arti modern. Techne adalah cara mengetahui yang membawa entitas, benda-benda keluar dari “ketersembunyiannya” (unconcealedness). Menurut Heidegger, seni juga termasuk dalam kerangka techne, karena seni secara aktif mengejawantahkan dirinya keluar dari “ketersembunyiannya”, sehingga memungkinkan kita melihat entitas sebagaimana adanya. Namun demikian, Heidegger menekankan bahwa jenis “pengungkapan” yang terjadi dalam teknologi sangat berbeda dari jenis “pengungkapan” dalam seni. Teknologi tidak begitu “menampilkan” tetapi memberi tantangan yang menghadapkan manusia pada tuntutan untuk memberi jawab sesuai tujuannya.Teknologi “membingkai” bahan (alam) siap untuk dipakai. Dengan demikian ia mereduksimaterial pada kegunaannya. Sebaliknya karya seni membiarkan bahan (materialnya) menampilkan aspeknya yang baru.
Dengan adanya kemajuan teknologi seperti program luar angkasa, pengembangan computer, rekayasa genetika, manusia diserap demi teknologi sendiri dan dengan demikian melupakan pertanyaan mengenai essensinya. Usaha manusia untuk mengendalikan teknologi, untuk mengelola perubahan dan inovasi, untuk memberi arah pada keseluruhan adalah sia-sia. Karena pengendalian, pengelolaan, pengarahan adalah nilai-nilai yang menyatu dalam proyek “pembingkaian”. Dalam “pembingkaian” (enframing) dunia dimanifestasikan. Pembingkaian adalah suatu modus penyingkapan, suatu cara bagaimana dunia dihadirkan pada kita. Teknologi adalah cara manifestasi “Ada” yang disesuaikan dengan penerima, manusia. Tetapi manusia bukan objek-tujuan yang pasif; ia mampu menafsirkan Ada.
Heidegger, dalam memikirkan esensi teknologi ini, mengemukakan suatu hubungan bebas antara manusia dan teknologi. Hubungan bebas itu bisa terjadi bila manusia menyadari bahwa: Pertama, Kita tidak boleh membiarkan diri kita terpesona oleh teknologi. Perhatian kita hendaknya terpusat pada essensi teknologi. Kedua, hal itu akan terjadi, kalau kita menghadapi esensi teknologi dalam terang esensi manusia itu sendiri. Ketiga, manusia modern harus menemukan apa yang sesuai dengan esensinya sebagai manusia, yaitu to think upon Being, memikirkan yang Ada. Dalam hal ini, sebenarnya Heidegger mempersoalkan bagaimana kita seharusnya memahami diri kita dalam tindakan yang kita lakukan. Bahaya yang kita hadapi ialah bahwa dengan pembingkaian (enframing) dan terpesona oleh keberhasilan teknologi, kita lupa akar pertanyaan tentang “Ada”.
Teknologi sebenarnya bukan semata-mata cara membuat benda, tetapi cara mewujudkan benda yang mendahului tindakan “membuat”. Techne, dalam bahasa Yunani, tidak berarti seni atau kerajinan dan bukan suatu “teknikal” dalam arti modern. Techne adalah cara mengetahui yang membawa entitas, benda-benda keluar dari “ketersembunyiannya” (unconcealedness). Menurut Heidegger, seni juga termasuk dalam kerangka techne, karena seni secara aktif mengejawantahkan dirinya keluar dari “ketersembunyiannya”, sehingga memungkinkan kita melihat entitas sebagaimana adanya. Namun demikian, Heidegger menekankan bahwa jenis “pengungkapan” yang terjadi dalam teknologi sangat berbeda dari jenis “pengungkapan” dalam seni. Teknologi tidak begitu “menampilkan” tetapi memberi tantangan yang menghadapkan manusia pada tuntutan untuk memberi jawab sesuai tujuannya.Teknologi “membingkai” bahan (alam) siap untuk dipakai. Dengan demikian ia mereduksimaterial pada kegunaannya. Sebaliknya karya seni membiarkan bahan (materialnya) menampilkan aspeknya yang baru.
Dengan adanya kemajuan teknologi seperti program luar angkasa, pengembangan computer, rekayasa genetika, manusia diserap demi teknologi sendiri dan dengan demikian melupakan pertanyaan mengenai essensinya. Usaha manusia untuk mengendalikan teknologi, untuk mengelola perubahan dan inovasi, untuk memberi arah pada keseluruhan adalah sia-sia. Karena pengendalian, pengelolaan, pengarahan adalah nilai-nilai yang menyatu dalam proyek “pembingkaian”. Dalam “pembingkaian” (enframing) dunia dimanifestasikan. Pembingkaian adalah suatu modus penyingkapan, suatu cara bagaimana dunia dihadirkan pada kita. Teknologi adalah cara manifestasi “Ada” yang disesuaikan dengan penerima, manusia. Tetapi manusia bukan objek-tujuan yang pasif; ia mampu menafsirkan Ada.
Heidegger, dalam memikirkan esensi teknologi ini, mengemukakan suatu hubungan bebas antara manusia dan teknologi. Hubungan bebas itu bisa terjadi bila manusia menyadari bahwa: Pertama, Kita tidak boleh membiarkan diri kita terpesona oleh teknologi. Perhatian kita hendaknya terpusat pada essensi teknologi. Kedua, hal itu akan terjadi, kalau kita menghadapi esensi teknologi dalam terang esensi manusia itu sendiri. Ketiga, manusia modern harus menemukan apa yang sesuai dengan esensinya sebagai manusia, yaitu to think upon Being, memikirkan yang Ada. Dalam hal ini, sebenarnya Heidegger mempersoalkan bagaimana kita seharusnya memahami diri kita dalam tindakan yang kita lakukan. Bahaya yang kita hadapi ialah bahwa dengan pembingkaian (enframing) dan terpesona oleh keberhasilan teknologi, kita lupa akar pertanyaan tentang “Ada”.
“Persona” atau “pribadi” menunjukkan status manusia sebagai “subjek” (dalam intersubjektivitas), yaitu sebagai pelaku, yang bebas dan rasional, yang tak dapat direduksi menjadi objek dan juga menunjukkan sifat “keutuhan” (subsistens, memiliki “ada”nya sendiri), keunikan dan ke-roh-anian manusia. Istilah persona dan pribadi tidak dipakai bagi hewan atau tumbuhan.
Pada awalnya, pada beradaban Yunani, kata “persona” adalah “prosophon”, yang artinya “yang menutupi wajah, yang menyembunyikan wajah atau topeng”. Boethius, pada awal abad ke-6, memberikan definisi “persona” sebagai “rasionalis nature individua substansia”, yaitu “substansi yang berkodrat rasio”, setiap orang adalah suatu substansi individual yang berkodrat akal budi. Substansi di sini dimaksudkan sebagai suatu kenyataan “yang berdiri sendiri” yang bukan dari yang lain. Dengan demikian “persona” memuat konsep “human dignity”, manusia yang bermartabat.
Thomas Aquinas menyempurnakan definisi Boethius itu dengan unsur-unsur sebagai berikut:
- persona adalah “subsistens”, yaitu pengada yang berdiri sendiri, yang memiliki “ada”nya sendiri ; dapat dikatakan juga ia memiliki “autonomy of being”, maka dia adalah “subjek”;
- “individu” (in-divisum-in) : tak terbagi dalam tubunya, utuh dalam dirinya, maka ia berbeda dengan yang lain;
- “memiliki kodrat yang rasional”, manusia sebagai persona memiliki kemampuan rasional atau akal budi;
- “finis in se” adalah tujuan “pada dirinya”, artinya manusia harus mempunyai tujuan dari segala aktivitas dan tidak dapat direduksi menjadi sarana;
- persona itu unik.
Definisi Thomas Aquinas ini, oleh Mondin, diringkas ke dalam empat unsur fundamental: autonomy of being self-consciousness, communication, and self-transcendence. Oleh karenanya “persona” memiliki “nilai mutlak” (Dalam Thomas Aquinas “finis in se”, mempunyai tujuan pada dirinya). Manusia sebagai persona tidak boleh dijadikan “alat”, “target”, “sarana” untuk mencapai sesuatu. Lebih lanjut, manusia sebagai persona memiliki keterbukaan kepada Yang Maha Mutlak, maka ia berpartisipasi kepada Yang Mutlak.
- persona adalah “subsistens”, yaitu pengada yang berdiri sendiri, yang memiliki “ada”nya sendiri ; dapat dikatakan juga ia memiliki “autonomy of being”, maka dia adalah “subjek”;
- “individu” (in-divisum-in) : tak terbagi dalam tubunya, utuh dalam dirinya, maka ia berbeda dengan yang lain;
- “memiliki kodrat yang rasional”, manusia sebagai persona memiliki kemampuan rasional atau akal budi;
- “finis in se” adalah tujuan “pada dirinya”, artinya manusia harus mempunyai tujuan dari segala aktivitas dan tidak dapat direduksi menjadi sarana;
- persona itu unik.
Definisi Thomas Aquinas ini, oleh Mondin, diringkas ke dalam empat unsur fundamental: autonomy of being self-consciousness, communication, and self-transcendence. Oleh karenanya “persona” memiliki “nilai mutlak” (Dalam Thomas Aquinas “finis in se”, mempunyai tujuan pada dirinya). Manusia sebagai persona tidak boleh dijadikan “alat”, “target”, “sarana” untuk mencapai sesuatu. Lebih lanjut, manusia sebagai persona memiliki keterbukaan kepada Yang Maha Mutlak, maka ia berpartisipasi kepada Yang Mutlak.
Refleksi Heidegger mengenai kematian dikaitkan dengan keontentikan eksistensi dan ditujukan untuk mengungkapkan keterbukaan manusia pada Ada (Sein). Ia samasekali tidak membicarakan persoalan immortalitas sesudah kematian. Bagi Heidegger kematian bukanlah suatu fakta yang semata-mata ekstrinsik yang menerobos eksistensi yang sudah mapan dan sudah mengaktualisasikan-diri. Maut yang tidak terhindarkan telah tertanam sejak awal dalam struktur ontologis eksistensi. Setiap bayi yang lahir sudah berada di jalan kematian. Eksistensi manusia dapat didefinisikan sebagai Sein-zum-Tode, ada-menuju-kematian.
Heidegger mencari pemahaman akan kematian dalam kerangka Dasein, yang mengejawantahkan dalam struktur, kedalaman, dan kemungkinan serta hubungannya pada keseluruhan eksistensi kita.
…death is the inmost, not-rational, certain, and as such, indefinite possibility not to be bypassed of Dasein. …As the end of Dasein death is in the being of this being toward its end.[4]
Heidegger melihat peran positif dari kematian. Ia mengajarkan bahwa kematian yang memungkinkan kehidupan memiliki makna. Bila manusia tidak dapat mati dan akan hidup selama-lamanya, maka hidup tak akan memiliki pola atau keutuhan. Hidup akan merupakan serentetan rangkaian peristiwa yang tidak mempunyai makna. Heidegger mengajarkan bahwa justru kematian yang memungkinkan kehidupan memiliki makna. Bila manusia tidak dapat mati dan akan hidup selama-lamanya, maka hidup tak akan memiliki pola atau keutuhan. Hidup akan merupakan serentetan rangkaian peristiwa yang tidak mempunyai makna. Ibaratnya sebuah kalimat panjang tanpa titik, sehingga tidak punya arti atau ibarat musik yang berbunyi terus tanpa bentuk tertentu. Kehidupan manusia hanya memiliki nilai dan kesatuan apabila ada akhir hidup, suatu batas yang memberi perspektif. Dalam perspektif ini berbagai peristiwa dan kemungkinan hidup dilihat dalam antar-kaitannya sebagai bagian dari keseluruhan yang memberikannya makna. Dengan pandangannya, Heidegger mengajak kita untuk hidup dalam antisipasi realistik atas kematian. Dengan demikian kita melihat kehidupan sebagai keseluruhan yang terbatas dan kita menghayatinya dengan suatu tujuan dan daya kekuatan dalam bayangan kematian. Kematian memang tak terelakkan. Tapi dengan kematian manusia mampu menghayati keotentikan eksistensinya. Dalam kematian itu, tak ada orang lain yang berpartisipasi. Hanya dirinya dan kematianlah yang berpartisipasi. Di situlah ia menjadi bebas dan otentik. Hanya dalam kebesaran yang tragis dan sepi dari kematian itulah manusia dapat menemukan dirinya sendiri. Kebebasan menjadi Freiheit-zum-Tude, kebebasan menuju kematian.
Berlawanan dengan Heidegger, Sartre menyangkal bahwa kematian dapat memberikan suatu bentuk keotentikan pada eksistensi manusia. Sebaliknya kematian mengejawantahkan absurditas yang menjadi ciri manusia karena kematian mematahkan dengan dahsyat setiap rencana, setiap kebebasan pribadi, setiap makna dari eksistensi. “Kematian samasekali bukan struktur ontologis adaku, paling sedikit sejauh aku adalah being-for-itself. Sebagai being-for-itself (yaitu manusia yang sadar, yang selalu menjadi subjek dengan menjadikan yang lain objek), tak ada tempat bagi kematian; kematian bukan dasar dari keterbatasan, bukan pula sesuatu yang dituju oleh kebebasan manusia; being-for-itself tidak dapat menerima kematian sebagai nilai yang datang dari luar”. Lalu apakah kematian?
Kematian memiliki sifat “mendadak”. Siapa pun dapat terkena maut kapan pun, di mana pun dan dengan cara apa pun, membuat orang melihatnya sebagai sesuatu yang membuat frustrasi dan tanpa arti. Hidup manusia pada akhirnya adalah kemubaziran. Suatu kejadian tanpa anti dalam proses kosmik. Jean.-Paul Sartre mengatakan: “Kematian menyingkirkan semua makna dari kehidupan”. Bagi Sartre kematian tak dapat diangkat dengan diintegrasikan dalam perencanaan eksistensial manusia. Dalam arti itu kematian bukanlah dimensi konstitutif eksistensi. Garis hidup manusia tidak dapat dikatakan sebagai perjalanan menuju kematian, apalagi sebagai penantian (Ernvarien) kematian. Paling-paling manusia hanya dapat menunggu fakta bahwa ia harus mati, tetapi tidak pernah ia mengharapkan kematian. Setiap orang menemukan dirinya dalam kondisi yang sama yaitu “terkutuk” untuk mati. Kematian datang dari luar dan mematahkan secara radikal eksistensi manusia yang terarah kepada kebebasan dan dalam kebebasan. Kematian bukanlah kemungkinan yang secara konstitutif merupakan bagian eksistensi. “Kematian bukanlah kemungkinan untuk tidak lagi mampu mewujudkan kehadiranku di dunia. tetapi suatu peniadaan kemunakinanku”.
Kematian tidak lain hanyalah sebuah data, sesuatu yang “given”. Kematian adalah suatu batas dari luar dan fakta yang pengalaman dengan subjektivitas saya. Untuk itu lebih baik membuat berbagai pengalaman sejauh dimungkinkan oleh kebebasan.
Kematian memiliki sifat “mendadak”. Siapa pun dapat terkena maut kapan pun, di mana pun dan dengan cara apa pun, membuat orang melihatnya sebagai sesuatu yang membuat frustrasi dan tanpa arti. Hidup manusia pada akhirnya adalah kemubaziran. Suatu kejadian tanpa anti dalam proses kosmik. Jean.-Paul Sartre mengatakan: “Kematian menyingkirkan semua makna dari kehidupan”. Bagi Sartre kematian tak dapat diangkat dengan diintegrasikan dalam perencanaan eksistensial manusia. Dalam arti itu kematian bukanlah dimensi konstitutif eksistensi. Garis hidup manusia tidak dapat dikatakan sebagai perjalanan menuju kematian, apalagi sebagai penantian (Ernvarien) kematian. Paling-paling manusia hanya dapat menunggu fakta bahwa ia harus mati, tetapi tidak pernah ia mengharapkan kematian. Setiap orang menemukan dirinya dalam kondisi yang sama yaitu “terkutuk” untuk mati. Kematian datang dari luar dan mematahkan secara radikal eksistensi manusia yang terarah kepada kebebasan dan dalam kebebasan. Kematian bukanlah kemungkinan yang secara konstitutif merupakan bagian eksistensi. “Kematian bukanlah kemungkinan untuk tidak lagi mampu mewujudkan kehadiranku di dunia. tetapi suatu peniadaan kemunakinanku”.
Kematian tidak lain hanyalah sebuah data, sesuatu yang “given”. Kematian adalah suatu batas dari luar dan fakta yang pengalaman dengan subjektivitas saya. Untuk itu lebih baik membuat berbagai pengalaman sejauh dimungkinkan oleh kebebasan.
Realitas kematian menghadapkan manusia pada keterbatasan eksistensinya. Aku terkesan dan sependapat dengan Heidegger yang menyatakan bahwa kematian adalah ekspresi paling konkrit dan radikal dari keterbatasan manusia. Dengan itu dimaksudkan bahwa manusia, kendati memiliki kebebasan dan inisiatif untuk merealisasikan eksistensinya, ia mengalami bahwa ia tidak mempunyai pijakan sendiri dalam kehidupannya. Kematian menarik secara radikal kekuasaan manusia atas dirinya dan atas tubuhnya. Kematian membuka kenyataan bahwa ia tidak mungkin lagi mewujudkan makna eksistensinya, karena kematian meniadakan kemungkinan untuk bersatu dengan dunia dan dengan sesama, yang konstitutif bagi makna eksistensinya. Maka dalam pengalaman ketidakberdayaan itu, manusia dapat melihat dengan terang bahwa kemungkinan eksistensinya bersandar pada kekuatan yang “diberikan”. Bahwa saya dapat mengaktualisasikan diri di dunia dan dapat mengembangkan diri dengan meneintai dan dicintai yang lain: hal itu merupakan “pemberian” atau “anugerah” yang didapat manusia. Dengan demikian hal itu bukan pula karena kekuasaan dominasi manusia. Otonomi didasarkan pada suatu heteronomi fundamental. Seperti dikatakan A Dondeyne: “… di hadapan kematian aku berada dengan diriku sendiri dan di dalam kesepian pada misteri eksistensiku dan hubunganku dengan Ada; kesendirian di hadapan kematian membuat diriku mengerti. Mau sekurang-kurangnya merasakan. bahwa aku bukan dasar terakhir dari nilai…”
Keterbatasan eksistensi manusia yang tercermin dalam peristiwa kematian memaksa manusia untuk mengakui bahwa dirinya tanpa makna dan eksistensiku sebagai pemberian yang datang dari “Yang Lain” dan mempercayakan diri pada Kenyataan yang penuh misteri yang menjadi sumber dari eksistensiku.
Keterbatasan eksistensi manusia yang tercermin dalam peristiwa kematian memaksa manusia untuk mengakui bahwa dirinya tanpa makna dan eksistensiku sebagai pemberian yang datang dari “Yang Lain” dan mempercayakan diri pada Kenyataan yang penuh misteri yang menjadi sumber dari eksistensiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Kesalahan adalah pengalaman hidup, belajarlah darinya. Jangan mencoba tuk menjadi sempurna. Cobalah belajar bijaksana bagi sesama"