Assalamu'alaikum Wr.Wb
KONSEP PENDIDIKAN DALAM KITAB "TA'LIM MUTA'ALIM"
DAN
RELEVANSINYA DENGAN DUNIA PENDIDIKAN
DEWASA INI
Oleh:
Agus Supyan
Tamhid
"Ta'limul Muta'alim" adalah kitab
kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh hari saja di bulan
Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari– hasil rangkuman
Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu melontar kritik
tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi, berisi teror sadis
kepada pencari ilmu, tidak masuk akal pembangkit kultus dan sebagainya, bukan
lainnya "Ta'limul Muta'alim" itu tapi kitab itu masih saja terus
dibaca di pesantren salaf manapun.
Sebelum saja beranjak
menguak sedikit isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak
dahulu sebuah rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai.
Yang rahasia itu hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang
mendapat anugerah ilmu nafi’' dan muntafa' bih adalah karena melibatkan tiga
faktor yang sangat dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang
diajar oleh-Nya (alladzi 'allama bil qolam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam).
Untuk memperoleh fadhol ini, orang harus berdo'a atau dido'akan. Do'a itu harus
sungguh-sungguh dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan
seenaknya dan mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do'a, dengan cara
misalnya, disamping berdo'a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak
berusaha menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah.
Kedua, Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan
muthola'ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan "Man
tholaba syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja". Siapa
saja yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan
barang siapa mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam
(rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang
muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan: "Walladzina jaahaduu
fiinaa lanahdiyannahum subulanaa", mengisyaratkan hal yang demikian itu.
Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah
pameo "atthob'u saroq" tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka kedekatan
seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan yang niscaya mengacu sunnah
Allah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat. Murid akan tertulari dari
sang guru.
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi' dan
muntafa' bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa besar
kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu faktor
lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang
berhasil mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua tholib.
Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi, kepada
siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan
menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut.
Namun secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan
itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk
tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya
fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik
mendapatkan legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari
kesungguhan tholibil 'ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari
ilmu Allah jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) 'ain dan
selebihnya wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi
adalah amal ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya
mendekati kitab "Ta'limul Muta'alim".
Sistimatika Ta'limul Muta'alim
Kitab kecil yang terdiri
dari tiga belas fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana
seharusnya orang sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab
kecil yang berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa
saja yang berkaitan dengan isi kitab.
Tentang ilmu,
keutaman-keutamaannya, bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu
menghasilkan ilmu itu. Karena mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang
faridhotun itu tidak boleh ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar
mendapatkan pahala disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat
pencarian, menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan
dan tujuan ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT
didekati sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan
niat tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi.
Pada fasal ketiga
dikemukakan perlunya selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah
sebelum terjun kedalam kancah ta'allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga
terus minat ta'allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang
dipelajari dan dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang
mengajar,dan teman yang bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri
secara selektif itu tadi.
Fasal berikutnya yang
membuat pakar ilmu masa kini seolah-olah kebakaran jenggot, adalah tentang
kewajiban ta'dhim terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah
tentang bagaimana seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh
dan disiplin. Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai (starting) terjun,
memperkirakan kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal
ilmu yang diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya
tholibul ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak
melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan
maupun benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak
disantap atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang
mudah membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan
bacaan yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal
kedelapan sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang
mendasari keibadahan tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret
ini, saya mengemukakan bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari
Allah yang "allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang
didapat oleh orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya
didunia ini saja, namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu
yang bermanfaat, tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu
sendiri. Peranan Allah dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan
ilmu, sama sekali tidak bisa dipisahkan. Hal-hal (baca: a'mal) yang melibatkan
Allah SWT. Demi perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana
amal-amal lain, ada permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing
menghajatkan pada pemenuhan aturan main yang telah ditetapkan agar yang
dilakukannya tidak sia-sia dan sah adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama
tholabil ilmi menempati peringkat diatas qiyamil lail dan puasa sunnah,
mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang mengantar orang terhormat dan mulia disisi
Allah oleh karena ketakwaan, "Inna akromakum 'indallohi atqaakum".
Ilmu adalah wasilah untuk takwa dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang
mulia 'indalloh tentu mulia 'nda siwahu min kholqihi.
Ilmu yang menjadi washilah
kepada takwa itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu
yang bermanfaat).
Berangkat dari sini,
kiranya tidak berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan
kedudukan ilmu sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat
dicapai oleh tholib. Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa
dan siapa yang diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada
dirinya, dunia dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi
ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
Memang pada dasarnya sifat
batin adalah sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa
beberapa bentuk sesuai dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu
sendiri, latar belakang keduanya dan seterusnya.
At-Ta'dhim
Tampilan ta'dhim yang
beraneka bentuk itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas —layak— wajar.
Karena memang ta'dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak
dilakukan terhadap yang ia merasa harus menta'dhimkannya. Dan merupakan garapan
tholibul ilmi untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta'dhim,
dilakukannya dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap
kedalam bentuk yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah
belaka. Lamis dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus
pandai dan cermat menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia
cari. Sesuai dengan minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupn dia tidak dibenarkan
sembarangan dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri akan lebih
mendorongnya kepada kesungguhan ta'dhim. Oleh TMT kesungguhan ta'dhimil ilmi
dirupakan dengan tidak menjamah kitab yang berisi kandungan ilmu itu, kecuali
dalam keadaan suci dari hadats. Sebelum dia muthola'ah, mengaji atau mengulang
pelajaran, berwudhu lebih dahulu. Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur
pada diri. Tidak menaruh kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan
seterusnya. Sedang ilmu yang sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial
adalah yang dia hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk
menuntun kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus
menghadap kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal tholib memilih
guru, kalau ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan
sebagai handal (al a'lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan keseharian
sedemikian rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial, menjauhi kedurhakaan
dan maksiat serta menjaga muru'ah (al-auro’) dan yang memiliki nilai lebih
dalam kematangan ilmu dan amalnya serta lebih tua usianya daripada ulama
(kiyai) lain (al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan agar tertancap pada
diri tholib kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib
bersikap ta'dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT, dicontohkan dengan tidak
ngomong kalau tidak didangu tidak bergeser tempat duduk sebelum sang guru
beranjak dari tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dari
guru, ketika didangu tidak berulah yang menyebabkan guru terganggu. Mematuhi
segala perintahnya apapun bentuknya. Dan seterusnya. Ta'dhim ini berlanjut
kepada keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru tertekan (diantara tanda
kutip) secara moral ta'dhim kepada guru ini, dilakukan oleh tholib untuk
mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus memberi dengan sifat kasih dan
sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah untuk mendapatkan dan
menghantarkannya kepada "raf'ad darojat"?
Oleh TMT guru disamakan
dengan dokter (thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang
terbaik yang sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura)
memeriksanya dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah
ungkapan, yaitu: “Maa washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa
saqotho man saqotho illa bitarkilhurmati wat ta'dhim”.
Melakukan pilihan sendiri
secara cermat terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan
ilmu dan gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab
meninggalkan ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan
itu sangat menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai
bermanfaat. Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib.
Rekan itu harus serasi, yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah,
berakhlak terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu
curi. Sebab "at thob'u saroqo", tabiat itu pasti mencuri, punya dampak
dan sangat mempengaruhi perilaku dan penilaian.
Layaqoh Ma'hudah
Untuk menyikapi ilmu, guru
dan rekan yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta'dhim ala TMT
berlebihan atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau tidak
kaitannya dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana sebenarnya
seseorang (sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam kedudukan dan peranan apa,
menurut anggapan tholib, guru berpengaruh pada "pembentukan diri".
Seberapa besar guru memberi manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana
jangkauan tholib mengapa dia melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali bisa saya katakan bahwa substansi
pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah dari "madhi" robba yang
maknanya " memberangkatkan pagi-pagi" atau "memperkembangkan
sejak mula", sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi
anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut fitrahnya adalalah
bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi, dilukis, dicoret-coret
atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah dengan demikian bisa
diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama hiya makhluqotun bihi bighoiri
taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan berangkat dan beranjak tumbuh sesuai
dengan fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang semestinya dengan
menuntun dan memberi contoh yang diinginkan serta memberi warna yang
seindah-indahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik.
Sehingga tertanam pada dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af 'aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian adalah
jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak
nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan
kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa
efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin
antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin
keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu
'alam.
Kita mengerti sepenuh
bahwa: menggarap sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang
digarap tidak berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan
manusia. Pada dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang
telah disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa
manusia, belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi
perubahan profil, kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh
makanan dan lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.
At- Talkhis Al Mudawwan
- Mencari Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai ridha Allah.
- 2. Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
- Ilmu yang kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan mengangkat derajat mulia disisi Allah.
- Ilmu adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut konsep Al-Qur'an harus dengan atas nama Allah.
- Ilmu yang membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita'dhimkan. Adalah terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
- Menta'dhimkan guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta'dhimkan ilmu itu sendiri.
- Menta'dhimkan harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah manapun, langsung atau tidak langsung.
- Ta'dhim bukanlah ta'abbud. Namun bisa saja laku ta'dhim karena menjalankan perintah syari'. Menjalankan perintahnya berarti juga ta'abbud.
- Mencari ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.
At-Talkhis Al-Mu'abbar
Barangkali oleh karena
Az-Zarnuji melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun
secara emphiris dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan.
Andaikata saya tidak khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan
bahwa TMT adalah kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil
ilmi dan belum disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif
memiliki bobot yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan
yang ideal yang masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu,
saya memberanikan diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat relevan
untuk diterapkan pada dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum
berubah.
Tentang hubungan pendidik
anak didik, guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan
seterusnya, adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan keorangan
apabila terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar filosofi sadar posisi
bagi masing-masing. Dan itu harus dipertahankan kelanggegnannya agar pengawasan
batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan
antar dua kutub tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Takhtim
Alur yang dipilih
Az-Zarnuji untuk mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek
muthobaqoh tadhomun maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar
dari lafal: at-tarbiyah.
Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan
sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya era
indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT, sebaiknya
didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan
melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab
dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi
bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada pedoman khususnya selain kitab TA'LIMUL
MUTA'ALIM.
Sedalewih, Shofarul Khoir
1414 H.
Dikutip dari Makalah yang
beliau sampaikan di Pondok Pesantren Suryalaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
"Kesalahan adalah pengalaman hidup, belajarlah darinya. Jangan mencoba tuk menjadi sempurna. Cobalah belajar bijaksana bagi sesama"